Wednesday, December 25, 2013

Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid terhadap Teks Keagamaan

     
       A.    Latar Belakang

Wacana agama yang berkembang dari klasik hingga kontemporer, seringkali menyamakan antara teks-teks agama dengan pemahaman terhadap teks agama tersebut. Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan (al-Qur’an) dianggap sebagai karya yang pasti dan final yang seolah tidak dapat disentuh atau bahkan diteliti  dan dianalisis. Bahkan seringkali terjadi manipulasi teks yang dilakukan umat Islam demi mendapatkan legitimasi atas berbagai kepentingannya.

Di satu sisi, al-Qur’an merupakan kalamullah yang disepakati oleh umat Islam dan tidak diragukan lagi sakralitasnya. Namun di sisi lain, secara faktual kalamullah itu menggunakan media bahasa Arab dan berbagai informasi yang terdapat di dalamnya disajikan dengan memakai logika budaya Arab serta istilah yang dipakai juga menggunakan terminologi yang akarb di kalangan orang Arab pada saat itu. Oleh karena itu, dengan pemahaman inilah, yaitu al-Qur’an sebagai teks yang berbahasa Arab, maka muncul berbagai kajian dan pembahasan mengenai status original al-Qur’an.[1]
Terdapat beragam kajian dan penelitian yang membahas mengenai persoalan teks, yaitu sejauh mana al-Qur’an berdimensi ilahiah dan sejauh mana ia berdimensi manusiawi. Untuk dapat mengungkap hal tersebut, pendekatan yang lazim digunakan oleh para ahli tafsir dalam melakukan studi interpretasi teks adalah pendekatan bahasa. Sebagaimana yang dilakukan oleh Bintusy Syathi’ dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan analisis kebahasaan. Baginya, seorang mufassir haruslah berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu bahasa Arab seperti tata bahasa, retorika, dan gaya bahasa al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas salah satu pemikir kontemporer Islam yaitu Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya, selain sebagai kalamullah yang suci, al-Qur’an juga harus dipandang sebagai teks. Sedangkan teks (apa pun) merupakan bagian dari sejarah yang berkesesuaian dengan konteks, termasuk al-Qur’an.


      B.     Rumusan Masalah

Bagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid terkait dengan penafsiran teks keagamaan ?



       [1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta : elsaq press, 2011), hlm. 97.


PEMBAHASAN

      A.    Biografi Nasr Hamid Abu Zaid

Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang pemikir modernis Mesir yang sangat dikenal oleh para pemerhati perkembangan pemikrian Islam. Pemikirannya banyak dianut dan juga ditentang. Bagi media Barat, dia dianggap sebagai hero bagi tumbuhnya kebebasan berpikir, sedangkan bagi Negara asalnya dia diputuskan kafir oleh Mahkamah. Dia menderita penganiayan relijius yang serius dikarenakan pandangannya terhadap al-Qur’an sebagai karya sastra mistik. Pada 1995, ia dipromosikan menduduki jabatan professor, tetapi kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Dia diputuskan murtad oleh pengadilan Mesir dan harus menceraiakn istrinya. [1]
Abu Zaid lahir pada 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta, Mesir. dalam literatur lain  (Encyclopedia Wikipedia dan Britanica ) diakatakan bahwa ia lahir pada 7 Oktober 1943. Ada lagi yang mengatakan bahwa kelahirannya adalah 19 Juli 1943. Namun, erbedaan dalam hal ini tidak menjadi fokus kajian. Saat berusia 8 tahun, ia sudah menghapal 30 juz al-Qur’an. Pendidikan tingginya, mulai S1, S2, dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab diselesaikannya di Universitas Kairo. Pada 1978-1980 ia pernah tinggal di Amerika karena memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institue of Middle Eastern Studies, University of Pensylvania, Philadelphia, USA. Pada 1992, ia menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Pada tahun tersebut pula, dengan karyanya Naqd Al Khittab Al Dinny dimulai kasusnya di persidangan karena karyanya dianggap menodai al-Qur’an, sehingga ia divonis murtad dan harus menceraikan istrinya pada 1995. [2]
Pada 23 Juli 1995, Abu Zaid dan Istrinya hengkang dari Mesir ke Belanda. Ia dihormati sebagai ilmuawan besar dalam studi al-Qur’an, dan dianugerahi gelar professor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, Amsterdam Selatan. Ia menduduki “kursi Ibnu Rusyd” dalam bidang kemanusiaan dan Islam di Unversitas Utrecth, Belanda. Pada 2005, ia menerima “The Ibnu Rusyd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengampanyekan kebenasan berpikir di Mesir.[3]

      B.     Penafsiran Abu Zaid Tentang Teks Al-Qur’an

Perhatian yang diberikan oleh Abu Zaid dalam menelaah tradisi Arab-Islam dipusatkan kepada “pembacaan” teks. Karena dalam pengandaiannya, peradaban dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu : peradaban Mesir terdahulu yang disebutnya sebagai peradaban “pasca kematiannya” (hadarat ma ba’da al-maut), peradaban Yunani disebut dengan “peradaban akal” (hadarat al-‘aql), sedangkan peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks” (hadarat al-Nass). Dalam hal ini, teks bukan berarti dengan sendirinya menumbuhkan peradaban. Tapi yang dimaksud adalah interaksi dan dialog manusia dengan teks yang juga menjadi faktor utama yang melandasi bangunan peradaban selain interaksi manusia dengan realitasnya.[4]
Bagi Abu Zaid, sebuah tulisan yang menjadi warisan kita semua harus dipandang sebagai teks bukan sebagai karya. Karya bersifat final sedangkang teks bersifat infinit karena senantiasa ada ruang kosong yang ditinggalkan dan diabaikan oleh penulisnya. Abu Zaid ketika berhadapan dengan teks mencoba meletakkan status tekstualitas al-Qur’an di satu sisi dan mencoba menentukkan pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks tersebut.
Selanjutnya, Abu Zaid menyatakan bahwa teks-teks agama merupakan teks – teks linguistik. Pendapat bahwa teks-teks bersifat ketuhanan, dan bersikukuh dengan watak ketuhanannya itu, membawa konsekuensi bahwa manusia dengan metodenya tidak mampu memahaminya selama tidak ada campur tangan Tuhan. Pandangan yang demikian, yang dikatakan oleh orang-orang Sufi, menjadikan teks-teks agama tertutup bagi pemahaman manusia. Namun, jika dipahami bahwa teks-teks agama merupakan teks-teks mansiawi lantaran ia terkait dengan bahasa dan peradaban dalam rentang masa sejarah tertentu, maka teks-teks tersebut sudah tentu merupakan teks historis yang tidak lepas dari sistem budaya di mana teks dianggap sebagai bagian darinya.[5]
Karakteristik pembacaan yang dilakukan Abu Zaid terhadap teks al-Qur’an adalah dengan menawarkan model-model pembacaan yang lebih dekat kepada bentuk kritik daripada melakukan aplikasi metode tafir pada umumnya. Bahkan pembacaan itu dilakukan terhadap wacana tafsir itu sendiri, yang baginya merupakan bagian penting dari wacana keagamaan, atau bentuk akhir dari suatu teks, kendati hanya pada lapisan metodologinya.[6]
Bagi Abu Zaid, al-Qur’an telah melukiskan dirinya sebagai risalah (pesan). Risalah merepresentasikan hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode (sistem bahasa). Namun, karena Sang Pengirim – dalam konteks al-Qur’an adalah Tuhan – mustahil dijadikan objek kajian ilmiah, maka pintu masuk yang relevan bagi kajian teks al-Qur’an adalah realitas dan budaya. Realitas mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, serta mengatur penerima pertama teks, yaitu Nabi Muhammad. Sementara itu, budaya menjelma dalam bahasa.[7]
Berdasarkan hal tersebut, Abu Zaid menyimpulkan status al-Qur’an adalah cultural product (al muntaj al saqafi). Pernyataan status alQur’an ini, setelah sebelumnya dengan alat bedah semiotika dan hermeneutika, ia membagi teks al-Qur’an dalam dua fase yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budaya:[8]
1.      Fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksi diri secara structural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana aspek kebahasaan merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode keterbentukan (marhalah al-tasykul) yang menggambarkan teks al-Qur’an sebagai “produk budaya”
2.      Fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem kebudayaannya. Fase ini disebut periode pembentukan (marhalah al tasykil). Teks yang semula produk kebudayaan, berubah menjadi produsen kebudayaan.

      C.    Metodologi Penafsiran

Abu Zaid mengatakan bahwa dalam mengkaji sebuah teks, terdapat hubungan yang dialektis anatar teks dan pembaca. Abu Zaid meyakini bahwa ada makna obyektif di balik sebuah teks. Untuk mengetahui makna obyektif tersebut diperlukan proses obyektifikasi dengan perangkat hermeneutika, yang juga dilakukan oleh Fazlur Rahman dalam mengkaji al-Qur’an.
Metodologi yang digunakan Abu Zaid dalm kajian interpretasi teks adalah hermeneutikan dan semiotika, yaitu kajian linguistik. Pendekatan bahasa ini yang memang lazim digunakan oleh para mufassir baik klasik maupun kontemporer dalam mengkaji teks-teks keagamaan, termasuk al-Qur’an. Kajian kebahasaan semakin mendapat peran penting kaena di dukung oleh ilmu-ilmu modern yang semakin berkembang, khusunya ilmu-ilmu linguistik.
Abu Zaid berangkat dari analisis linguistik dalam memahami teks. Pertama yang dilakukan seorang penafsir adalah pembacaan permulaan (preliminary reading) yang kemudian diikuti dengan pembacaan analitis (al-qira’ah al-tahliliyah) agar gagasan sentral teks dapat terkuak. Abu Zaid juga menggunakan metode kontekstual (manhaj al-qira’at al-siyaqiyah) atau sebagaimana ia sebut dengan metode pembaruan (manhaj al-tajdid), meskipun bukan hal yang baru.[9]
Ketika seseorang berinteraksi dengan teks, maka ia harus bertolak dari dua segi : segi pertama, adalah segi historis yang dalam arti semiologis yang bertujuan untuk menenmpatkan teks-teks tersebut pada konteksnya dalam upaya menyingkap maknanya yang asli, kemudian memasuki konteks historis, dan selanjutnya konteks bahasa yang khusus dari teks-teks tersebut, segi yang kedua, adalah segi konteks sosio-kultural pada masa itu yang menjadi pendorong untuk adanya suatu interpretasi – kepada teks-teks tersebut. Keduanya semata-mata untuk membedakan antara “makna asli” yang bersifat historis dengan “signifikansi” yang mungkin dipahami dari makna-makna itu.[10]
Metodologi hermeneutika yang digunakan Abu Zaid tidak berbeda jauh seperti apa yang digambarkan Fazlur Rahman, yaitu ta’wil dimaknai sebagai gerakan yang terus menerus yang tidak hanya satu arah yang berlangsung antara dua dimensi antarab asal (al ashl) dan tujuan (al ghayah), atau antara  makna (al dalalah) dan signifikansi (al maghza). Gerakan tersebut terdiri dari dua bentuk gerakan, yaitu : gerakan pertama, dari situasi masa kini ke masa al-Qur’an diturunkan. Dan gerakan kedua, dari masa al-Qur’an diturunkan ke masa kini.[11]

      D.    Aplikasi Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid

Abu Zaid lebih banyak melakukan wacana kritik terhadap hasil pemikiran dan penafsiran ulama-ulama dahulu dalam hal interpretasi teks. Dia tidak secara langsung mengaplikasikan metodenya dalam bentuk tafsir. Salah satu pemikirannya adalah tentang isu warisan dan perempuan. Isu warisan perempuan ini menurutnya mempunyai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, yaitu : pertama, berkaitan dengan isu wanita pada umumnya dan posisinya dalam Islam khususnya. Kedua, berkaitan dengan problem warisan secara keseluruhan sebagaimana yang diekspresikan oleh teks.[12]
Dulu, perempuan diperlakukan sebagai makhluk yang tidak memiliki kecakapan. Nilai perempuan hanya bersumber dari laki-laki, tempat perempuan menisbatkan diri, apakah itu ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Bukti tersebut tampak pada keengganan masyarakat (Arab) untuk mewariskan kepada anak perempuan dan kepada anak kecil laki-laki. Kalau perempuan itu istrinya, sang suami berhak menceraikannya kemudian rujuk dengan semaunya tanpa tujuan selain menghinakannya. Apabila ia seorang yang ditinggal mati suaminya, ia tidak memiliki hak untuk menikah apabila datang seorang laki-laki dari garis keturunan suaminya tersebut melemparkan jubbah kepada perempuan itu sebagai tanda ingin menikahinya. [13]
Gerak yang dimunculkan teks melampaui kondisi misoginis dan mengarah pada persamaan yang disembunyikan dan diindikasikan sekaligus oleh teks. yang disembunyikan secara total adalah upaya membebaskan manusia, laki-laki dan perempuan, dari belenggu-belenggu sosial dan intelektual. Oleh karena itu, “nalar” dilontarkan sebagai lawan dari “jahiliah”, keadilan sebagai lawan dari perbudakan. Nilai tersebut oleh teks (al-Qur’an) hanya bisa diindikasikan sebab teks tidak akan memaksakan terhadap realitas yang hal itu bertabrakan dengan realitas, namun teks menggerakkannya secara parsial.[14]
Persoalan warisan dalam perempuan dibicarakan dari sudut problem warisan dalam Islam pada umumnya. Dalam surat an-Nisa : 11 
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat tersebut terdapat ungkapan yang memiliki indikasi terhadap apa yang didiamkan, yaitu : bapak-bapak kamu, anak-anak kamu diantara mereka, kamu tidak mengetahui siapa yang lebih bermanfaat bagimu. Ungkapan ini dapat dipahami dengan dua sisi : pertama,  bahwa ungkapan tersebut menolak orang-orang yang keberatan memberikan warisan kepada anak perempuan dengan dalih tidak berguna. Pemahaman ini seiring dengan konteks sebab turunnya ayat, maksudnya konteks eksternal, dan tidak bertentangan dengan struktur bahasa.
Sisi kedua, mengaitkan ungkapan tersebut dengan fashilah (rima,akhir) ayat tersebut : Sesungguhnya Allah MahaTahu dan Bijaksana untuk membatasi makna bahwa manusia itu tidak mengetahui dibandingkan dengan ilmu Allah sambil memisahkan ayat tersebut dari konteks eksternal. Pada sisi kedua ini, makna langsung dapat dipegangi dan signifikansi dapat diabaikan. Jika ungkapan tersebut menolak orang-orang yang berkeberatan, menurut sisi pertama, maka ungkapan tersebut mengesampingkan norma “manfaat” dalam masalah warisan. [15]
Pengertian yang didiamkan dan didindikasikan dalam masalah warisan tidak berhenti sampai disitu, tetapi ia bergerak sebagai upaya meretakkan masalah keturunan sebagai norma dalam pembagian warisan. Islam melarang satu individu memonopoli warisan. Selain itu, pengertian yang didiamkan ini mengarah ke konsep keadilan dan distribusi kekayaan : “Kami para Nabi, tidak memberikan warisan, apa yang kami tinggalkan merupakan sedekah”. Teks disini khash bukan ‘amm, tetapi signifikansinya jelas bagi orang yang memang menghendaki, hanya saja wacana agama yang menyerukan meneladani tindakan nabi yang lebih ringan dari itu, seperti seruan mengenakan pakaian, jenggot, dan cara makan, di sini bersikeras menganggapnya sebagai kekhususan nabi. Tak seorang pun yang mempertanyakan hikmah di balik prinsip itu. Barangkali mempertanyakan hal tersebut justru akan membuka apa yang didiamkan dalam masalah warisan.[16]


PENUTUP

      A.    Kesimpulan

Teks al-Qur’an menurut Abu Zaid memiliki dimensi ilahiah dan manusiawi. Ketika al-Qur’an masih berupa kalamullah murni, nilai sakralitas al-Qur’an tidak perlu diragukan lagi. Namun, ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad yang dengan segala budaya dan tradisinya dan menggunakan bahasa Arab, maka ketika itu al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia dengan memakai struktur tata bahasa dan budaya Arab. Dalam hal ini, teks berubah dari wahyu menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran.
Abu Zaid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks linguistik. Sehingga teks-teks tersebut dapat diteliti dan dikaji dengan ilmu-ilmu linguistik. Dalam pembacaan teks dia berangkat dari analisis linguistik. Selain itu, agar dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an maka dibutuhkan pembacaan produktif terhadap teks dengan menggunakan teori hermeneutika untuk menggali makna dan menemukan signifikansi.
Pembacaan Abu Zaid Terhadap teks al-Qur’an lebih cenderung kepada model kritik terhadap penafsiran dan wacana yang berkembang di dunia Islam. Seperti diungkapkan pada pembahasan bagaimana ia memahami ayat waris yang kebenyakan orang hanya berhenti pada aspek makna dan tidak bergerak pada aspek signifikansi. Menurutnya, sikap wacana agama yang berhenti pada makna-makna saja, berujung dengan menarik mundur realitas sekaligus membekukan teks.
Bagaimanapun, usaha pembacaan teks yang dilakukan Abu Zaid memberikan warna tersendiri dalam khazanah keilmuan Islam dalam bidang tafsir. Terlepas dari pemikirannya yang berani, yang melawan arus dari mainstream, beliau mampu menggugah para generasi-generasi Islam dan memaksanya untuk melihat, menganalisis, dan mengkritisi pemahaman-pemahaman lama yang dipandang telah final dan selesai.

  

      B.     Bibliografi

Faiz, Fahruddin. 2011. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta:
            Elsaq Press
Latief, Hilman. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta :
            Elsaq Press
Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Jakarta : Al Qalam
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2003. Kritik Wacana Agama. Yogyakarta : LKiS




       [1] Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, ( Jakarta : 2007, Al-Qalam), hlm. 1-2.
       [2]  Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat ,hlm. 4
       [3] Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, hlm. 5.
       [4]  Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, ( Yogyakarta : elsaq press, 2003), hlm. 27.
       [5] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, (Yogyakarta : 2003, LKiS), hlm. 215-216.
       [6]  Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, hlm. 122.
       [8]  Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial, hlm. 100.
       [9]  Skripsi, Muhammad Nalilil Muna, MenutupAurat Bagi Perempuan. hlm. 46.
       [10] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, hlm. 127.
       [11] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, hlm. 130.
       [12] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, hlm. 242.
       [13] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, hlm. 244-245.
       [14] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, hlm. 245-246.
       [15] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, hlm. 246.
       [16] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, hlm. 247.

No comments:

Post a Comment