A.
Latar Belakang
Wacana agama yang berkembang dari klasik hingga
kontemporer, seringkali menyamakan antara teks-teks agama dengan pemahaman
terhadap teks agama tersebut. Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan
(al-Qur’an) dianggap sebagai karya yang pasti dan final yang seolah tidak dapat
disentuh atau bahkan diteliti dan
dianalisis. Bahkan seringkali terjadi manipulasi teks yang dilakukan umat Islam
demi mendapatkan legitimasi atas berbagai kepentingannya.
Di satu sisi, al-Qur’an merupakan kalamullah yang
disepakati oleh umat Islam dan tidak diragukan lagi sakralitasnya. Namun di
sisi lain, secara faktual kalamullah itu menggunakan media bahasa Arab dan
berbagai informasi yang terdapat di dalamnya disajikan dengan memakai logika
budaya Arab serta istilah yang dipakai juga menggunakan terminologi yang akarb
di kalangan orang Arab pada saat itu. Oleh karena itu, dengan pemahaman inilah,
yaitu al-Qur’an sebagai teks yang berbahasa Arab, maka muncul berbagai kajian
dan pembahasan mengenai status original al-Qur’an.[1]
Terdapat beragam kajian dan penelitian yang membahas
mengenai persoalan teks, yaitu sejauh mana al-Qur’an berdimensi ilahiah dan
sejauh mana ia berdimensi manusiawi. Untuk dapat mengungkap hal tersebut,
pendekatan yang lazim digunakan oleh para ahli tafsir dalam melakukan studi
interpretasi teks adalah pendekatan bahasa. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Bintusy Syathi’ dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan analisis
kebahasaan. Baginya, seorang mufassir haruslah berpengetahuan luas dalam
ilmu-ilmu bahasa Arab seperti tata bahasa, retorika, dan gaya bahasa al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas salah satu
pemikir kontemporer Islam yaitu Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya, selain sebagai
kalamullah yang suci, al-Qur’an juga harus dipandang sebagai teks. Sedangkan
teks (apa pun) merupakan bagian dari sejarah yang berkesesuaian dengan konteks,
termasuk al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana
pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid terkait dengan penafsiran teks keagamaan ?
[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta : elsaq press, 2011), hlm.
97.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang pemikir modernis
Mesir yang sangat dikenal oleh para pemerhati perkembangan pemikrian Islam.
Pemikirannya banyak dianut dan juga ditentang. Bagi media Barat, dia dianggap
sebagai hero bagi tumbuhnya kebebasan berpikir, sedangkan bagi Negara
asalnya dia diputuskan kafir oleh Mahkamah. Dia menderita penganiayan relijius
yang serius dikarenakan pandangannya terhadap al-Qur’an sebagai karya sastra
mistik. Pada 1995, ia dipromosikan menduduki jabatan professor, tetapi
kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan
murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Dia diputuskan murtad oleh
pengadilan Mesir dan harus menceraiakn istrinya. [1]
Abu Zaid lahir pada 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta,
Mesir. dalam literatur lain
(Encyclopedia Wikipedia dan Britanica ) diakatakan bahwa ia lahir pada 7
Oktober 1943. Ada lagi yang mengatakan bahwa kelahirannya adalah 19 Juli 1943.
Namun, erbedaan dalam hal ini tidak menjadi fokus kajian. Saat berusia 8 tahun,
ia sudah menghapal 30 juz al-Qur’an. Pendidikan tingginya, mulai S1, S2, dan S3
dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab diselesaikannya di Universitas Kairo. Pada
1978-1980 ia pernah tinggal di Amerika karena memperoleh beasiswa untuk
penelitian doktoralnya di Institue of Middle Eastern Studies, University of
Pensylvania, Philadelphia, USA. Pada 1992, ia menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis
pada saat usianya menginjak 49 tahun. Pada tahun tersebut pula, dengan karyanya
Naqd Al Khittab Al Dinny dimulai kasusnya di persidangan karena karyanya
dianggap menodai al-Qur’an, sehingga ia divonis murtad dan harus menceraikan
istrinya pada 1995. [2]
Pada 23 Juli 1995, Abu Zaid dan Istrinya hengkang dari
Mesir ke Belanda. Ia dihormati sebagai ilmuawan besar dalam studi al-Qur’an,
dan dianugerahi gelar professor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari
Leiden University, Amsterdam Selatan. Ia menduduki “kursi Ibnu Rusyd” dalam
bidang kemanusiaan dan Islam di Unversitas Utrecth, Belanda. Pada 2005, ia
menerima “The Ibnu Rusyd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah
penghargaan atas usahanya mengampanyekan kebenasan berpikir di Mesir.[3]
B.
Penafsiran Abu Zaid Tentang Teks Al-Qur’an
Perhatian yang diberikan oleh Abu Zaid dalam menelaah
tradisi Arab-Islam dipusatkan kepada “pembacaan” teks. Karena dalam
pengandaiannya, peradaban dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu :
peradaban Mesir terdahulu yang disebutnya sebagai peradaban “pasca kematiannya”
(hadarat ma ba’da al-maut), peradaban Yunani disebut dengan “peradaban
akal” (hadarat al-‘aql), sedangkan peradaban Arab-Islam adalah “peradaban
teks” (hadarat al-Nass). Dalam hal ini, teks bukan berarti dengan sendirinya
menumbuhkan peradaban. Tapi yang dimaksud adalah interaksi dan dialog manusia
dengan teks yang juga menjadi faktor utama yang melandasi bangunan peradaban
selain interaksi manusia dengan realitasnya.[4]
Bagi Abu Zaid, sebuah tulisan yang menjadi warisan
kita semua harus dipandang sebagai teks bukan sebagai karya. Karya bersifat
final sedangkang teks bersifat infinit karena senantiasa ada ruang kosong yang
ditinggalkan dan diabaikan oleh penulisnya. Abu Zaid ketika berhadapan dengan
teks mencoba meletakkan status tekstualitas al-Qur’an di satu sisi dan mencoba
menentukkan pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks tersebut.
Selanjutnya, Abu Zaid menyatakan bahwa teks-teks agama
merupakan teks – teks linguistik. Pendapat bahwa teks-teks bersifat ketuhanan,
dan bersikukuh dengan watak ketuhanannya itu, membawa konsekuensi bahwa manusia
dengan metodenya tidak mampu memahaminya selama tidak ada campur tangan Tuhan.
Pandangan yang demikian, yang dikatakan oleh orang-orang Sufi, menjadikan
teks-teks agama tertutup bagi pemahaman manusia. Namun, jika dipahami bahwa
teks-teks agama merupakan teks-teks mansiawi lantaran ia terkait dengan bahasa
dan peradaban dalam rentang masa sejarah tertentu, maka teks-teks tersebut
sudah tentu merupakan teks historis yang tidak lepas dari sistem budaya di mana
teks dianggap sebagai bagian darinya.[5]
Karakteristik pembacaan yang dilakukan Abu Zaid
terhadap teks al-Qur’an adalah dengan menawarkan model-model pembacaan yang
lebih dekat kepada bentuk kritik daripada melakukan aplikasi metode tafir pada
umumnya. Bahkan pembacaan itu dilakukan terhadap wacana tafsir itu sendiri,
yang baginya merupakan bagian penting dari wacana keagamaan, atau bentuk akhir
dari suatu teks, kendati hanya pada lapisan metodologinya.[6]
Bagi Abu Zaid, al-Qur’an telah melukiskan dirinya
sebagai risalah (pesan). Risalah merepresentasikan hubungan komunikasi
antara pengirim dan penerima melalui kode (sistem bahasa). Namun, karena Sang
Pengirim – dalam konteks al-Qur’an adalah Tuhan – mustahil dijadikan objek
kajian ilmiah, maka pintu masuk yang relevan bagi kajian teks al-Qur’an adalah
realitas dan budaya. Realitas mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks,
serta mengatur penerima pertama teks, yaitu Nabi Muhammad. Sementara itu,
budaya menjelma dalam bahasa.[7]
Berdasarkan hal tersebut, Abu Zaid menyimpulkan status
al-Qur’an adalah cultural product (al muntaj al saqafi). Pernyataan
status alQur’an ini, setelah sebelumnya dengan alat bedah semiotika dan
hermeneutika, ia membagi teks al-Qur’an dalam dua fase yang menggambarkan
dialektika teks dengan realitas sosial-budaya:[8]
1.
Fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan
mengkonstruksi diri secara structural dalam sistem budaya yang melatarinya,
dimana aspek kebahasaan merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang
kemudian disebut periode keterbentukan (marhalah al-tasykul) yang
menggambarkan teks al-Qur’an sebagai “produk budaya”
2.
Fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan
mengkonstruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem
kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan
pengaruh dalam sistem kebudayaannya. Fase ini disebut periode pembentukan (marhalah
al tasykil). Teks yang semula produk kebudayaan, berubah menjadi produsen
kebudayaan.
C.
Metodologi Penafsiran
Abu Zaid mengatakan bahwa dalam mengkaji sebuah teks,
terdapat hubungan yang dialektis anatar teks dan pembaca. Abu Zaid meyakini
bahwa ada makna obyektif di balik sebuah teks. Untuk mengetahui makna obyektif
tersebut diperlukan proses obyektifikasi dengan perangkat hermeneutika, yang
juga dilakukan oleh Fazlur Rahman dalam mengkaji al-Qur’an.
Metodologi yang digunakan Abu Zaid dalm kajian
interpretasi teks adalah hermeneutikan dan semiotika, yaitu kajian linguistik.
Pendekatan bahasa ini yang memang lazim digunakan oleh para mufassir baik
klasik maupun kontemporer dalam mengkaji teks-teks keagamaan, termasuk
al-Qur’an. Kajian kebahasaan semakin mendapat peran penting kaena di dukung
oleh ilmu-ilmu modern yang semakin berkembang, khusunya ilmu-ilmu linguistik.
Abu Zaid berangkat dari analisis linguistik dalam
memahami teks. Pertama yang dilakukan seorang penafsir adalah pembacaan
permulaan (preliminary reading) yang kemudian diikuti dengan pembacaan
analitis (al-qira’ah al-tahliliyah) agar gagasan sentral teks dapat
terkuak. Abu Zaid juga menggunakan metode kontekstual (manhaj al-qira’at
al-siyaqiyah) atau sebagaimana ia sebut dengan metode pembaruan (manhaj
al-tajdid), meskipun bukan hal yang baru.[9]
Ketika seseorang berinteraksi dengan teks, maka ia
harus bertolak dari dua segi : segi pertama, adalah segi historis yang dalam
arti semiologis yang bertujuan untuk menenmpatkan teks-teks tersebut pada
konteksnya dalam upaya menyingkap maknanya yang asli, kemudian memasuki konteks
historis, dan selanjutnya konteks bahasa yang khusus dari teks-teks tersebut,
segi yang kedua, adalah segi konteks sosio-kultural pada masa itu yang menjadi
pendorong untuk adanya suatu interpretasi – kepada teks-teks tersebut. Keduanya
semata-mata untuk membedakan antara “makna asli” yang bersifat historis dengan
“signifikansi” yang mungkin dipahami dari makna-makna itu.[10]
Metodologi hermeneutika yang digunakan Abu Zaid tidak
berbeda jauh seperti apa yang digambarkan Fazlur Rahman, yaitu ta’wil dimaknai
sebagai gerakan yang terus menerus yang tidak hanya satu arah yang berlangsung
antara dua dimensi antarab asal (al ashl) dan tujuan (al ghayah),
atau antara makna (al dalalah)
dan signifikansi (al maghza). Gerakan tersebut terdiri dari dua bentuk
gerakan, yaitu : gerakan pertama, dari situasi masa kini ke masa
al-Qur’an diturunkan. Dan gerakan kedua, dari masa al-Qur’an diturunkan
ke masa kini.[11]
D.
Aplikasi Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid
Abu Zaid lebih banyak melakukan wacana kritik terhadap
hasil pemikiran dan penafsiran ulama-ulama dahulu dalam hal interpretasi teks.
Dia tidak secara langsung mengaplikasikan metodenya dalam bentuk tafsir. Salah
satu pemikirannya adalah tentang isu warisan dan perempuan. Isu warisan
perempuan ini menurutnya mempunyai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, yaitu :
pertama, berkaitan dengan isu wanita pada umumnya dan posisinya dalam
Islam khususnya. Kedua, berkaitan dengan problem warisan secara
keseluruhan sebagaimana yang diekspresikan oleh teks.[12]
Dulu, perempuan diperlakukan sebagai makhluk yang
tidak memiliki kecakapan. Nilai perempuan hanya bersumber dari laki-laki,
tempat perempuan menisbatkan diri, apakah itu ayah, saudara laki-laki, ataupun
suami. Bukti tersebut tampak pada keengganan masyarakat (Arab) untuk mewariskan
kepada anak perempuan dan kepada anak kecil laki-laki. Kalau perempuan itu
istrinya, sang suami berhak menceraikannya kemudian rujuk dengan semaunya tanpa
tujuan selain menghinakannya. Apabila ia seorang yang ditinggal mati suaminya,
ia tidak memiliki hak untuk menikah apabila datang seorang laki-laki dari garis
keturunan suaminya tersebut melemparkan jubbah kepada perempuan itu sebagai
tanda ingin menikahinya. [13]
Gerak yang dimunculkan teks melampaui kondisi
misoginis dan mengarah pada persamaan yang disembunyikan dan diindikasikan
sekaligus oleh teks. yang disembunyikan secara total adalah upaya membebaskan
manusia, laki-laki dan perempuan, dari belenggu-belenggu sosial dan
intelektual. Oleh karena itu, “nalar” dilontarkan sebagai lawan dari
“jahiliah”, keadilan sebagai lawan dari perbudakan. Nilai tersebut oleh teks
(al-Qur’an) hanya bisa diindikasikan sebab teks tidak akan memaksakan terhadap
realitas yang hal itu bertabrakan dengan realitas, namun teks menggerakkannya
secara parsial.[14]
Persoalan warisan dalam perempuan dibicarakan dari
sudut problem warisan dalam Islam pada umumnya. Dalam surat an-Nisa : 11
11. Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam ayat tersebut terdapat ungkapan yang memiliki
indikasi terhadap apa yang didiamkan, yaitu : bapak-bapak kamu, anak-anak
kamu diantara mereka, kamu tidak mengetahui siapa yang lebih bermanfaat bagimu.
Ungkapan ini dapat dipahami dengan dua sisi : pertama, bahwa ungkapan tersebut menolak orang-orang
yang keberatan memberikan warisan kepada anak perempuan dengan dalih tidak
berguna. Pemahaman ini seiring dengan konteks sebab turunnya ayat, maksudnya
konteks eksternal, dan tidak bertentangan dengan struktur bahasa.
Sisi kedua, mengaitkan ungkapan tersebut dengan
fashilah (rima,akhir) ayat tersebut : Sesungguhnya Allah MahaTahu dan
Bijaksana untuk membatasi makna bahwa manusia itu tidak mengetahui dibandingkan
dengan ilmu Allah sambil memisahkan ayat tersebut dari konteks eksternal. Pada
sisi kedua ini, makna langsung dapat dipegangi dan signifikansi dapat diabaikan.
Jika ungkapan tersebut menolak orang-orang yang berkeberatan, menurut sisi
pertama, maka ungkapan tersebut mengesampingkan norma “manfaat” dalam masalah
warisan. [15]
Pengertian yang didiamkan dan didindikasikan dalam
masalah warisan tidak berhenti sampai disitu, tetapi ia bergerak sebagai upaya
meretakkan masalah keturunan sebagai norma dalam pembagian warisan. Islam
melarang satu individu memonopoli warisan. Selain itu, pengertian yang
didiamkan ini mengarah ke konsep keadilan dan distribusi kekayaan : “Kami para
Nabi, tidak memberikan warisan, apa yang kami tinggalkan merupakan sedekah”.
Teks disini khash bukan ‘amm, tetapi signifikansinya jelas bagi
orang yang memang menghendaki, hanya saja wacana agama yang menyerukan
meneladani tindakan nabi yang lebih ringan dari itu, seperti seruan mengenakan
pakaian, jenggot, dan cara makan, di sini bersikeras menganggapnya sebagai
kekhususan nabi. Tak seorang pun yang mempertanyakan hikmah di balik prinsip
itu. Barangkali mempertanyakan hal tersebut justru akan membuka apa yang
didiamkan dalam masalah warisan.[16]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teks al-Qur’an menurut Abu Zaid memiliki dimensi
ilahiah dan manusiawi. Ketika al-Qur’an masih berupa kalamullah murni, nilai
sakralitas al-Qur’an tidak perlu diragukan lagi. Namun, ketika al-Qur’an
diwahyukan kepada Muhammad yang dengan segala budaya dan tradisinya dan
menggunakan bahasa Arab, maka ketika itu al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan
manusia dengan memakai struktur tata bahasa dan budaya Arab. Dalam hal ini,
teks berubah dari wahyu menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran.
Abu Zaid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah
teks-teks linguistik. Sehingga teks-teks tersebut dapat diteliti dan dikaji
dengan ilmu-ilmu linguistik. Dalam pembacaan teks dia berangkat dari analisis
linguistik. Selain itu, agar dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an maka
dibutuhkan pembacaan produktif terhadap teks dengan menggunakan teori
hermeneutika untuk menggali makna dan menemukan signifikansi.
Pembacaan Abu Zaid Terhadap teks al-Qur’an lebih
cenderung kepada model kritik terhadap penafsiran dan wacana yang berkembang di
dunia Islam. Seperti diungkapkan pada pembahasan bagaimana ia memahami ayat
waris yang kebenyakan orang hanya berhenti pada aspek makna dan tidak bergerak
pada aspek signifikansi. Menurutnya, sikap wacana agama yang berhenti pada
makna-makna saja, berujung dengan menarik mundur realitas sekaligus membekukan
teks.
Bagaimanapun, usaha pembacaan teks yang dilakukan Abu
Zaid memberikan warna tersendiri dalam khazanah keilmuan Islam dalam bidang
tafsir. Terlepas dari pemikirannya yang berani, yang melawan arus dari
mainstream, beliau mampu menggugah para generasi-generasi Islam dan memaksanya
untuk melihat, menganalisis, dan mengkritisi pemahaman-pemahaman lama yang
dipandang telah final dan selesai.
B.
Bibliografi
Faiz, Fahruddin.
2011. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta:
Elsaq Press
Latief, Hilman.
2003. Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta :
Elsaq Press
Shalahuddin,
Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Jakarta : Al Qalam
Zaid, Nasr Hamid
Abu. 2003. Kritik Wacana Agama. Yogyakarta : LKiS
No comments:
Post a Comment