Thursday, December 12, 2013

AHMAD AMIN
Pemikir Hadis Kontemporer



  1. Pendahuluan
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang memiliki posisi penting dalam studi islam. Penelitian tentang hadis merupakan salah satu kajian dalam keilmuan Islam yang selalu mendapat perhatian dari para ulama muslim maupun intelektual non-muslim. Hal ini terbukti dengan kajian terhadap hadis yang tidak pernah berhenti sejak masa penyampaian (masa Nabi) hingga sekarang.

Keberadaan hadis setelah wafatnya Nabi tidak lagi dianggap sama dengan keadaan hadis yang beredar di masyarakat setelah wafatnya Nabi. Hal ini karena beberapa faktor yaitu, periwayatan hadis berlangsung secara lafal dan juga makna. Selain itu, pembukuan hadis yang memakan waktu lebih lama dan dilakukan jauh setelah Nabi wafat, memunculkan keragu-raguan terhadap otentisitas hadis dan juga telah muncul pemalsuan hadis.[1] Pembukuan hadis yang tidak berlangsung pada era awal Islam menjadikan hadis lebih sulit untuk dikaji. Persoalan yang muncul adalah mengenai otentisistas hadis sebelum masuk kepada pemahaman makna. Keragu-raguan tentang otentisitas hadis, secara otomatis membahayakan kedudukan sunnah. Jika dinyatakan hadis tidak otentik, maka hadis tersebut telah kehilangan otoritasnya sebgai hujjah.[2]
Isu tentang otentisitas hadis ini, oleh para ulama kontemporer menjadi hal yang penting untul dilakukan. Ahmad Amin adalah salah satu tokoh kontemporer yang mengkritisi hadis dari segi otentisitasnya. Dari pemikiran-pemikirannya yang kritis terhadap hadis, ia dianggap sebagai penyerang hadis.[3] Pemikiran-pemikirannya tentang hadis juga diduga telah terpengaruh oleh orientalis Barat. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai pemikiran Ahamd Amin tentang hadis yang pemikirannya itu dianggap cukup kontroversial.

  1. Biografi Ahmad Amin
Ahmad Amin dilahirkan di Kairo, Mesir pada 1 Oktober 1886 M (dalam satu sumber disebutkan 1878 M) bertepatan dengan 2 Muharram 1304 H. Ia terlahir di dalam lingkungan keluarga yang terpelajar dan disiplin yang kuat. Ia meninggal pada tanggal 30 Mei 1954 M di Kota yang sama.[4]
Dalam kehidupan intelektualnya, selain menerima pendidikan di lingkungan keluarga, ia juga belajar di kuttab untuk tingkat dasar dan menengah. Kemudian dia belajar di Al Azhar sampai menamatkan Jurusan Peradilan Agama (Madrasat al- Qadla’ al-Syar’i). Setamatnya dari perguruan tinggi, ia mengajar dan juga memangku jabatan sebagai Hakim pada Lembaga Peradilan Agama. Ia juga menempuh program doktoral di London-Inggris dalam kajian ilmu filsafat. Selama empat tahun ia mendalami filsafat guna meraih gelar doktor. Tidak hanya itu, di kota kelahirannya, ia diangkat sebagai Dosen Fakultas Sastra Arab Universitas Kairo pada 1939. Kemudian pada tahun 1947 ia diangkat sebagai Rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab (Jami’at al Duwal al Arabiyyah). Selain itu, dia juga aktif di berbagai kegiatan keilmuan. Misalnya, anggota Dewan Keilmuan Arab (al Majma’ al Ilmi al Arabi) di Syiria, Dewan Bahasa di Kairo, dan anggota Dewan Keilmuan Irak di Baghdad. Keaktifannya tersebut membuatnya diberi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kairo pada 1948.[5]
Amin merupakan figur yang produktif. Ia telah melahirkan banyak karya dari buah tangannya. Karya-karya Amin banyak menyebar di berbagai media cetak maupun terbit dalam buku-buku. Diantara karya-karya nya adalah : al-Akhlaq (1923), Mabadi al Falsafah, terjemah karya Lyrayobord, Qishshat al Falsafah al Yunaniyah, Qishshat al Falsafah al Hdisah, Fajr al Islam, al-Naqd al Adabi (sebanyak 2 jilid), Dluha al Islam (tiga jilid), Zhuhr al Islam (empat jilid), Yawm al Islam, Zu’ama’ al Ishlah fi al Ashar al Hadis, al Syarq wa al Gharb, Ila Waladi, Hayati, Qamus al Adat, Faidl al Khathir (sepuluh jilid), al Sha’lakah wa al-Futut fi al Islam. Dari karya-karya tersebut, terlihat bahwa Amin menekuni kurang lebih tiga bidang studi, yaitu filsafat dan pemikiran Islam, sejarah peradaban Islam, dan sastra Arab.[6]

  1. Pemikiran Ahmad Amin tentang Hadis
a)      Pandangan Ahmad Amin tentang pembukuan, dan pemalsuan hadis
Ahmad Amin mendefinisikan hadis atau sunnah yaitu segala sesuatu yang datang dari Rasul saw baik berupa perkataan, tindakan atau ketetapan. Setelah Rasul wafat, hadis mencakup sesuatu yang datang dari sahabat. Hal ini karena para sahabatlah yang selalu bergaul dengan Rasul dan mendengar serta menyaksikan perbuatan Rasul. Kemudian datang para tabi’in yang juga bergaul dengan sahabat dan mendengar serta melihat perbuatan para sahabat. Maka, hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Rasul saw dan para sahabat.[7]Pengertian hadis yang demikian itu merupakan cara pandang Amin terhadap hadis/sunnah dari perspektif historis.[8]
Bagi Amin, hadis menempati posisi yang tinggi di dalam Islam. Namun, kedudukan hadis tersebut bergeser setelah Nabi wafat dan memasuki masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga ulama-ulama. Amin sepakat dengan ulama mayoritas mengenai ketinggian hadis sebagai sumber otoritas keagamaan. Namun, ia mulai meragukannya dengan melakukan kritik terhadap hadis-hadis pasca wafatnya Nabi. Ia meragukan hadis karena pembukuan hadis baru dilakukan setelah rentang waktu yang relatif panjang sejak masa kenabian, tidak sebagaimana al-Qur’an yang sudah dicatat dan dibukukan sejak awal turunnnya.[9]
Dalam hal pembukuan hadis, Amin menegaskan bahwa tidak dibukukannya hadis pada masa awal Islam merupakan kelemahan tersendiri. Ia menyatakan bahwa pembukuan hadis memang belum populer pada masa Nabi, dan tidak ada aturan-aturan khusus seperti yang ada pada pembukuan al-Qur’an. Selain itu, kebanyakan hadis hanya diriwayatkan dari ingatan dan secara verbal.[10] Amin juga mengatakan sebagaimana dikutip oleh Juynboll bahwa sangat sulit untuk merekam semua yang dilakukan dan diucapkan Nabi selama dua puluh tiga tahun masa kenabian tanpa adanya catatan resmi tentang hadis. Adanya pengekangan terhadap ingatan para sahabat dan generasi selanjutnya, maka mereka mulai membuat hadis untuk kepentingan mereka sendiri.[11]
Amin memberikan bukti-bukti untuk memperkuat argumennya. Di antara bukti-bukti tersebut adalah :[12]
Hadis riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Abu Sa’id al-Khudlri, yang artinya : “janganlah kamu semua menulis dariku. Barangsiapa yang menulis dariku sesuatu selain al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Dan katakanlah tentang aku sedangkan ini tidak mengapa; dan barangsiapa yang dengan sengaja berbohong tentang diriku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka.”
Hadis lain yang menjadi penguat argumennya adalah hadis riwayat Bukhari dari bin Abbas, yang artinya : “Sewaktu Nabi saw mengalami sakit keras, beliau bersabda, “Berilah aku kitab (alat tulis), akan aku tuliskan untukmu suatu kitab yang kamu tidak tersesat lagi”. Pada waktu itu Umar ra berkata, “Nabi saw sedang diserang penyakit keras, sedang pada kami sudah ada kitab Allah (al-Qur’an) yang hal ini sudah cukup bagi kita.” (HR. Bukhari dari Ibn Abbas)
Terjadinya pemalsuan hadis, menurut Amin, karena tidak adanya pembukuan hadis pada masa awal Islam dan hanya berdasar pada riwayat yang mengandalkan ingatan. Selain itu, menghimpun semua yang dikatakan dan diperbuat Nabi dalam kurun 23 tahun bukanlah hal yang mudah. Maka ada peluang untuk membuat hadis-hadis palsu oleh golongan tertentu yang di sandarkan kepada Rasul dengan jalan dusta.[13] Menurut Amin, permulaan pemalsuan hadis telah terjadi pada masa Nabi. Pendapatnya tersebut di dasarkan dari hadis nabi, yang berbunyi ‘man kadzaba ‘alaiyya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minannaar’, yaitu ‘barangsiapa yang berdusta tentangku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka’. Hadis tersebut menurutnya mengindikasikan bahwa pemalsuan hadis telah ada sejak zaman Rasul.[14]
Semenjak muncul pemalsuan hadis, segolongan ulama pada saat itu mulai melakukan kritik hadis dari segi sanad, yaitu dengan mensyaratkan adanya sanad hadis jika akan menyampaikan hadis. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kualitas pembawa hadis. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengutip hadis yang diambil dari Muqaddimah Shahih Bukhari, yang artinya :
“Dari Bin Sirin, dia berkata, “Semula para perawi tidak menanyakan sanad hadis, tetapi setelah terjadi fitnah mereka berkata, “Katakanlah kepadaku siapakah orang-orangmu itu (pembawa-pembawa hadis yang sampai kepadamu), kemudian ia melihat kepada ahli-ahli sunnah yang kemudian diambil hadis-hadis mereka, dan melihat kepada ahli bid’ah dan kemudian hadis-hadis mereka ditinggalkan.[15]
Menurut Ahamad Amin, pada mulanya kondisi sahabat itu memang adil, akan tetapi, setelah terjadi peperangan dan perselisihan di antara mereka, maka keadaan menjadi berubah. Sehingga, haruslah diadakan pembahasan.[16]
Mengenai pemalsuan hadis, Amin lebih jauh mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab pemalsuan hadis, yaitu :[17]
  1. Pertentangan politik dan teologi
Konflik dan pertikaian anatar Ali dan Abu Bakar, antara Ali dan Mu’awiyah, antara Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik, kemudian antara Kaum Umawi dan Kaum Abbasi, dan beberapa konflik lain dalam internal umat muslim yang diduga menjadi pemicu munculnya hadis-hadis palsu. Pemalsuan oleh satu golongan memotivasi kelompok lain untul membuat hadis palsu juga demi mempertahankan dan membela golongannya.
  1. Perselisihan di bidang Ilmu Kalam dan fiqh
Amin mengatakan bahwa para ahli kalam telah berselisih dalam soal qadar, jabar, dan ikhtiar. Segolongan membolehkan kalangannya membuat hadis-hadis untuk penguat aliran mereka. Anatar golongan tersebut saling menyerang satu sama lain dengan hadis sebagai alat legitimasi. Di kalangan fuqaha juga terjadi perselisihan mengani hukum Islam. Amin menyatakan bahwa tidak ada suatu cabang pembahasan fiqh yang berbeda, kecuali tentu ada hadis yang menopangnya. Ia juga mengatakn bahwa madzhab Hanafi yang disebut-sebut hanya mengakui sedikit hadis saja, dalam kitab-kitabnya justru dipenuhi hadis-hadis yang jumlahnya tidamk sedikit.
  1. Kecondongan Ulama Kepada Penguasa
Amin memberikan contoh yang terkait dengan hal ini, yaitu seperti yang diriwayatkan dari Ghoyyat ibn Ibrahim bahwa ia pernah masuk ketempat al-Mahdi yang mempunyai kegemaran mengadu burung dara, kemudian ia meriwayatkan suatu hadis ‘Tak boleh berpacu kecuali dengan hewan yang berteracak dan bersayap’ lalu ia diberi hadiah 10.000 dirham. Periwayatan hadis tersebut tidak lain adalah untuk tujuan tertentu dan untuk mendapatkan keuntungan dari penguasa.
  1. Ada ulama yang membolehkan membuat hadis-hadis yang berisi tentang keutamaan-keutamaan dan anjuran beribadah. Hadis-hadis ini tidak terhitung banyaknya, dan melalui ini pula pembawa cerita memasukkan cerita mereka ke dalam hadis.
  2. Adanya  Manusia yang Berlebihan dalam Bersandar pada Sunnah
Dalam hal ini Amin menyatakan bahwa pada saat itu tidak mau menerima suatu ilmu kecuali yang erat kaitannya dengan Qur’an dan Hadis. Hukum halal haram yang hanya disandarkan pada ijtihad tidak akan setaraf dengan yang disandarkan kepada hadis. Semua ini mendorong sebagian ulama memberi corak kepada ilmu-ilmu baru yang berasal dari luar Islam dengan corak keagamaan agar dapat diterima.
b).  Adalat al Shahabah
            Keadilan perawi hadis merupakan syarat bagi diterimanya sebuah hadis. Begitu juga, perawi tingkat sahabat yang juga disyaratkan adil dalam membawa hadis. Dalam hal keadilan sahabat, Amin menyatakan bahwa kebanyakan kritikus hadis menganggap semua sahabat itu adil, sehingga para kritikus itu tidak ada yang menisbatkan seorang sahabat kepada kebohongan dan keburukan. Demi memperkuat pendapatnya itu, Amin mengemukakan bukti dengan mengutip pendapat al-Ghazali yang mangatakan bahwa ta’dil terhadap sahabat itu tidak perlu karena Allah telah mengaggap semua sahabat adil dan memuji mereka di dalam al-Qur’an. Bukti lain yang dikemukakan Amin yaitu, bahwa para sahabat sendiri pada zamannya mereka saling mengkritik dan memposisikan sebagian lebih tinggi daripada sebagian yang lain.[18]
Bagi Amin, sahabat tetaplah manusia biasa yang juga bisa melakukan kesalahan dan. Amin mencontohkan hadis Abu Hurairah tentang keharusan berwudhu setelah membawa jenazah yang oleh Ibn Abbas hadis tersebut ditolak. Selain itu juga penolakan Aisyah terhadap hadis yang di bawa Abu Hurairah mengenai pembasuhan tangan setelah bangun tidur.[19]
b)      Pandangan terhadap Pemikiran Ahmad Amin
Ahmad Amin telah mulai meragukan hadis dari segi penanganan historis pembukuan hadis. Nmun, oleh Juynboll dikatakan bahwa Amin seorang intelektual muslim yang bersikap kritis terhadap otentisitas historis hadis.[20] Ia juga dikatakan banyak terpengaruh oleh pemikiran orientalis tentang hadis, seperti Ignaz Goldziher.
Ahmad Amin oleh sebagian orang dipandang sebagai inkar al-sunnah karena kritiknya yang keras terhadap hadis. Di dalam karyanya, fajr al-Islam, Amin menyampaikan kritiknya yang keras dengan menggugat otentisitas hadis dan hal-hal seputar pembukuan hadis. Ia juga meragukan keadilan sahabat sebagai generasi awal yang oleh jumhur ulama dikatakan semua adil.
Hasbie Ash-Shiddiqie juga memberikan komentar terhadap keberanian Amin dalam mengkritik hadis. menurutnya, uraian Amin tentang hadis menimbulkan 8 keraguan terhadap : (1)kebenaran sahabat, (2) Abu Hurairah secara khusus, (3) sebagian ulama, seperti Ibn Mubarak, (4) hadis-hadis tafsir, (5) hadis-hadis fada’ilul amal, (6) hadis-hadis shahih, (7) ulama jarh wa ta’dil (8), sistem yang ditempuh ulama hadis dalam menulis dan meriwayatkan hadis.[21]
Banyak ulama hadis yang tidak sependapat dengan pandangan Amin tentang hadis. Salah satunya yang secara khusus menyerang balik pernyataan Amin adalah Musthafa al-Siba’i. Ia adalah tokoh ahli hadis, ahli hukum Islam dan sejarah dan tentu saja ia adalah seorang pembela hadis. Al-Siba’i dalam karyanya al-Sunnah wa Maknatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, melakukan kritik balik terhadap setiap poin-poin yang dikemukakan oleh Ahmad Amin.
Dalam hal pembukuan hadis, al-Siba’i tidak sependapat dengan Amin. Menurutnya, pembukuan Hadis dan Al-Qur’an memang tidak sama penanganannya. Pembukuan Hadis dan al-Qur’an pada saat yang bersamaan sangatlah berat dan hampir mustahil. Sedangkan penulisan hadis memang sudah ada sejak masa nabi berupa shuhuf-shuhuf, misalnya shuhuf Abdullah bin Amr bin Ash, tetapi masih bersifat perorangan. Selain itu, Nabi juga banyak menulis surat kepada raja-raja di zamannya.[22]
Al-Siba’i juga tidak sependapat dalam hal permulaan pemalsuan hadis. Ia tidak menyangkal bahwa telah terjadi pemalsuan hadis, namun pemalsuan hadis pada masa Nabi dengan menyandarkan pada hadis “man kaana ‘alaiyya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu muta’ammidan” hanya bersifat dugaan dan terbukti bahwa dalam sejarah tidak pernah ada sahabat yang memalsukan hadis pada masa Nabi. Selain itu, hadis tersebut di sampaikan tidak dengan sanadnya atau tidak ada asbabun nuzulnya. Hadis tersebut disabdakan adalah sebagai bentuk peringatan terhadap generasi berikutnya.[23]




PENUTUP

Kesimpulan
Ahmad Amin merupakan salah satu tokoh kontemporer yang hidup di era di mana umat Islam sudah mulai bangkit dari ketertinggalannya terhadap pemikiran Barat. Karir intelektualnya menunjukkan bahwa Amin adalah seorang tokoh yang aktif dan produktif. Ia tidak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga mengenyam pendidikan Barat. Sebagai doktor dalam bidang hadis di Cambridge University, Amin merupakan intelektual Muslim yang sangat menggandrungi pemikiran orientalis, khusunya Ignaz Goldziher. Tentu saja hal ini  berimplikasi pada pemikirannya yang kritis  
Pemikirannya yang dianggap kontroversi salah satunya adalah mengenai hadis. Ia memiliki keragu-raguan terhadap hadis. Di dalam karyanya, Fajr al-Islam, ia menggugat otentisitas hadis dari segi pembukuan dan periwayatan. Selain itu, ia juga tidak percaya tentang keadilan semua sahabat. Menurutnya, pemalsuan hadis itu sudah ada sejak masa Nabi saw. Ia mengatakan bahwa ada segolongan orang yang memberanikan diri menyandarkan hadis pada Nabi. Ia juga mengatakan bahwa pemalsuan hadis lebih mudah dilakukan setelah Nabi wafat, contohnya dalah pada hadis-hadis keutamaan dan hadis tafsir. Hadis yang bisa dijadikan hujjah dan memebri faedah ilmu menurut Amin hanyalah hadis muttawatir. Sedangkan hadis Ahad sama sekali tidak memberi faedah ilmu.
Pemikiran Amin yang cukup berani tersebut, mengundang reaksi dari para ulama dan tokoh Islam yang selama ini memegangi hadis sebagai otoritas keagamaan setelah al-Qur’an. Beberapa yang memberikan penilaian adalah Hasbie Ash-Shiddiqie, dan yang secara langsung menyerang balik terhadap pemikiran Amin adalah Mustahaf al-Siba’i.
Pada dasarnya setiap pemikiran tidak ada yang sempurna, pasti ada penilaian dan menuai kritik dari orang lain. Sebagai karya intelektual, pemikrian Amin terhadap hadis harus dipandang secara proporsional. Pemikirannya telah menambah khazanah intelektual keilmuan Islam pada umunya dan hadis secara khusus. Sehingga setiap pemikiran kritis dapat membuat Islam lebih dinamis.

Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. 1967. Jakarta : Bulan Bintang
Juynboll, G.H.A. Kontroversi hadis di Mesir. 1999. Bandung : Mizan
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah : Kritik Musthafa al-Siba’i
            terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam. 2003.
            Jakarta : Prenada media
TIM Mahasiswa TH-Khusus angkatan ’07. Yang Membela dan Yang Menggugat. 2012.
            Yogyakarta : CSS SUKA Press
TIM Mahasiswa TH-Khusus angkatan ’07. Yang Membela dan Yang Menggugat. 2011
            Yogyakarta : Interpena
Ekawati, Otentisitas : Studi Atas Pemikiran Ahmad Amin dan Kasim Ahmad, Skripsi, 2006, Fak. Ushuluddin, Yogyakarta, hlm. 64









       [1] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah, kritik Musthafa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahamd Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2003),  hlm. 7.
       [2] G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir :1890-1960, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 13.
       [3] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 6.
       [4] Lihat kumpulan tulisan TIM Mahasiswa TH-Khusus angkatan ‘07, Yang Membela dan Yang Menggugat, ed. M. Makmun Aba, (Yogyakarta : CSS SUKA Press, 2012), hlm. 274.
       [5] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 83-84.
[6] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 86.
[7] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, terj. Zaini Dahlan,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 268.
[8] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 95.
[9] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 96.
[10] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 101. 
[11] G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir , hlm 75.
[12] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 268-269.
[13] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 271.
[14] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 102.
[15] Ekawati, Otentisitas : Studi Atas Pemikiran Ahmad Amin dan Kasim Ahmad, Skripsi, 2006, Fak. Ushuluddin, Yogyakarta, hlm. 64
[16] Ibid, hlm. 65.
[17] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 275-277.
[18] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 124.
[19] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 124-126.
[20] G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir , hlm 53.
[21] Tim Mahasiswa TH-Khusus ’07, Yang Membela dan Yang Menggugat, (Yogyakarta : Interpena, 2011), hlm. 208.
[22] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 161.
[23] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 140.

No comments:

Post a Comment