AHMAD AMIN
Pemikir Hadis Kontemporer
- Pendahuluan
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam kedua
setelah al-Qur’an yang memiliki posisi penting dalam studi islam. Penelitian
tentang hadis merupakan salah satu kajian dalam keilmuan Islam yang selalu
mendapat perhatian dari para ulama muslim maupun intelektual non-muslim. Hal
ini terbukti dengan kajian terhadap hadis yang tidak pernah berhenti sejak masa
penyampaian (masa Nabi) hingga sekarang.
Keberadaan hadis setelah wafatnya Nabi tidak lagi
dianggap sama dengan keadaan hadis yang beredar di masyarakat setelah wafatnya
Nabi. Hal ini karena beberapa faktor yaitu, periwayatan hadis berlangsung
secara lafal dan juga makna. Selain itu, pembukuan hadis yang memakan waktu
lebih lama dan dilakukan jauh setelah Nabi wafat, memunculkan keragu-raguan
terhadap otentisitas hadis dan juga telah muncul pemalsuan hadis.[1]
Pembukuan hadis yang tidak berlangsung pada era awal Islam menjadikan hadis
lebih sulit untuk dikaji. Persoalan yang muncul adalah mengenai otentisistas
hadis sebelum masuk kepada pemahaman makna. Keragu-raguan tentang otentisitas
hadis, secara otomatis membahayakan kedudukan sunnah. Jika dinyatakan hadis
tidak otentik, maka hadis tersebut telah kehilangan otoritasnya sebgai hujjah.[2]
Isu tentang otentisitas hadis ini, oleh para ulama kontemporer
menjadi hal yang penting untul dilakukan. Ahmad Amin adalah salah satu tokoh
kontemporer yang mengkritisi hadis dari segi otentisitasnya. Dari
pemikiran-pemikirannya yang kritis terhadap hadis, ia dianggap sebagai
penyerang hadis.[3] Pemikiran-pemikirannya tentang hadis juga
diduga telah terpengaruh oleh orientalis Barat. Oleh karena itu, dalam makalah
ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai pemikiran Ahamd Amin tentang hadis
yang pemikirannya itu dianggap cukup kontroversial.
- Biografi Ahmad Amin
Ahmad Amin dilahirkan di
Kairo, Mesir pada 1 Oktober 1886 M (dalam satu sumber disebutkan 1878 M)
bertepatan dengan 2 Muharram 1304 H. Ia terlahir di dalam lingkungan keluarga
yang terpelajar dan disiplin yang kuat. Ia meninggal pada tanggal 30 Mei 1954 M
di Kota yang sama.[4]
Dalam kehidupan
intelektualnya, selain menerima pendidikan di lingkungan keluarga, ia juga
belajar di kuttab untuk tingkat dasar dan menengah. Kemudian dia belajar
di Al Azhar sampai menamatkan Jurusan Peradilan Agama (Madrasat al- Qadla’
al-Syar’i). Setamatnya dari perguruan tinggi, ia mengajar dan juga memangku
jabatan sebagai Hakim pada Lembaga Peradilan Agama. Ia juga menempuh program
doktoral di London-Inggris dalam kajian ilmu filsafat. Selama empat tahun ia
mendalami filsafat guna meraih gelar doktor. Tidak hanya itu, di kota
kelahirannya, ia diangkat sebagai Dosen Fakultas Sastra Arab Universitas Kairo
pada 1939. Kemudian pada tahun 1947 ia diangkat sebagai Rektor pada Direktorat
Kebudayaan di Liga Arab (Jami’at al Duwal al Arabiyyah). Selain itu, dia
juga aktif di berbagai kegiatan keilmuan. Misalnya, anggota Dewan Keilmuan Arab
(al Majma’ al Ilmi al Arabi) di Syiria, Dewan Bahasa di Kairo, dan
anggota Dewan Keilmuan Irak di Baghdad. Keaktifannya tersebut membuatnya diberi
gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kairo pada 1948.[5]
Amin merupakan figur yang
produktif. Ia telah melahirkan banyak karya dari buah tangannya. Karya-karya
Amin banyak menyebar di berbagai media cetak maupun terbit dalam buku-buku.
Diantara karya-karya nya adalah : al-Akhlaq (1923), Mabadi al
Falsafah, terjemah karya Lyrayobord, Qishshat al Falsafah al Yunaniyah,
Qishshat al Falsafah al Hdisah, Fajr al Islam, al-Naqd al
Adabi (sebanyak 2 jilid), Dluha al Islam (tiga jilid), Zhuhr al
Islam (empat jilid), Yawm al Islam, Zu’ama’ al Ishlah fi al Ashar
al Hadis, al Syarq wa al Gharb, Ila Waladi, Hayati, Qamus
al Adat, Faidl al Khathir (sepuluh jilid), al Sha’lakah wa
al-Futut fi al Islam. Dari karya-karya tersebut, terlihat bahwa Amin
menekuni kurang lebih tiga bidang studi, yaitu filsafat dan pemikiran Islam,
sejarah peradaban Islam, dan sastra Arab.[6]
- Pemikiran Ahmad Amin tentang Hadis
a)
Pandangan Ahmad Amin tentang pembukuan, dan
pemalsuan hadis
Ahmad Amin mendefinisikan
hadis atau sunnah yaitu segala sesuatu yang datang dari Rasul saw baik berupa
perkataan, tindakan atau ketetapan. Setelah Rasul wafat, hadis mencakup sesuatu
yang datang dari sahabat. Hal ini karena para sahabatlah yang selalu bergaul
dengan Rasul dan mendengar serta menyaksikan perbuatan Rasul. Kemudian datang
para tabi’in yang juga bergaul dengan sahabat dan mendengar serta melihat
perbuatan para sahabat. Maka, hadis adalah segala sesuatu yang datang dari
Rasul saw dan para sahabat.[7]Pengertian
hadis yang demikian itu merupakan cara pandang Amin terhadap hadis/sunnah dari
perspektif historis.[8]
Bagi Amin, hadis menempati
posisi yang tinggi di dalam Islam. Namun, kedudukan hadis tersebut bergeser
setelah Nabi wafat dan memasuki masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga
ulama-ulama. Amin sepakat dengan ulama mayoritas
mengenai ketinggian hadis sebagai sumber otoritas keagamaan. Namun, ia mulai
meragukannya dengan melakukan kritik terhadap hadis-hadis pasca wafatnya Nabi.
Ia meragukan hadis karena pembukuan hadis baru dilakukan setelah rentang waktu
yang relatif panjang sejak masa kenabian, tidak sebagaimana al-Qur’an yang
sudah dicatat dan dibukukan sejak awal turunnnya.[9]
Dalam hal pembukuan hadis, Amin menegaskan bahwa tidak
dibukukannya hadis pada masa awal Islam merupakan kelemahan tersendiri. Ia
menyatakan bahwa pembukuan hadis memang belum populer pada masa Nabi, dan tidak
ada aturan-aturan khusus seperti yang ada pada pembukuan al-Qur’an. Selain itu, kebanyakan hadis hanya
diriwayatkan dari ingatan dan secara verbal.[10]
Amin juga mengatakan sebagaimana dikutip oleh Juynboll bahwa sangat sulit untuk
merekam semua yang dilakukan dan diucapkan Nabi selama dua puluh tiga tahun
masa kenabian tanpa adanya catatan resmi tentang hadis. Adanya pengekangan
terhadap ingatan para sahabat dan generasi selanjutnya, maka mereka mulai
membuat hadis untuk kepentingan mereka sendiri.[11]
Amin memberikan bukti-bukti untuk memperkuat argumennya.
Di antara bukti-bukti tersebut adalah :[12]
Hadis riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Abu Sa’id
al-Khudlri, yang artinya : “janganlah kamu semua menulis dariku. Barangsiapa
yang menulis dariku sesuatu selain al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya.
Dan katakanlah tentang aku sedangkan ini tidak mengapa; dan barangsiapa yang
dengan sengaja berbohong tentang diriku maka hendaklah dia mengambil tempat
duduknya di neraka.”
Hadis lain yang menjadi penguat argumennya adalah hadis
riwayat Bukhari dari bin Abbas, yang artinya : “Sewaktu Nabi saw mengalami
sakit keras, beliau bersabda, “Berilah aku kitab (alat tulis), akan aku
tuliskan untukmu suatu kitab yang kamu tidak tersesat lagi”. Pada waktu itu
Umar ra berkata, “Nabi saw sedang diserang penyakit keras, sedang pada kami
sudah ada kitab Allah (al-Qur’an) yang hal ini sudah cukup bagi kita.” (HR.
Bukhari dari Ibn Abbas)
Terjadinya pemalsuan hadis, menurut Amin, karena tidak
adanya pembukuan hadis pada masa awal Islam dan hanya berdasar pada riwayat
yang mengandalkan ingatan. Selain itu, menghimpun semua yang dikatakan dan
diperbuat Nabi dalam kurun 23 tahun bukanlah hal yang mudah. Maka ada peluang
untuk membuat hadis-hadis palsu oleh golongan tertentu yang di sandarkan kepada
Rasul dengan jalan dusta.[13]
Menurut Amin, permulaan
pemalsuan hadis telah terjadi pada masa Nabi. Pendapatnya tersebut di dasarkan
dari hadis nabi, yang berbunyi ‘man kadzaba ‘alaiyya muta’ammidan
falyatabawwa’ maq’adahu minannaar’, yaitu ‘barangsiapa yang berdusta
tentangku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka’. Hadis tersebut menurutnya mengindikasikan bahwa pemalsuan hadis
telah ada sejak zaman Rasul.[14]
Semenjak muncul pemalsuan hadis, segolongan ulama pada
saat itu mulai melakukan kritik hadis dari segi sanad, yaitu dengan
mensyaratkan adanya sanad hadis jika akan menyampaikan hadis. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui kualitas pembawa hadis. Untuk menguatkan
pendapatnya, ia mengutip hadis yang diambil dari Muqaddimah Shahih Bukhari,
yang artinya :
“Dari Bin Sirin, dia berkata, “Semula para perawi tidak menanyakan
sanad hadis, tetapi setelah terjadi fitnah mereka berkata, “Katakanlah kepadaku
siapakah orang-orangmu itu (pembawa-pembawa hadis yang sampai kepadamu),
kemudian ia melihat kepada ahli-ahli sunnah yang kemudian diambil hadis-hadis
mereka, dan melihat kepada ahli bid’ah dan kemudian hadis-hadis mereka
ditinggalkan.[15]
Menurut Ahamad Amin, pada mulanya kondisi sahabat itu
memang adil, akan tetapi, setelah terjadi peperangan dan perselisihan di antara
mereka, maka keadaan menjadi berubah. Sehingga, haruslah diadakan pembahasan.[16]
Mengenai pemalsuan hadis, Amin lebih jauh mengungkapkan
faktor-faktor yang menjadi penyebab pemalsuan hadis, yaitu :[17]
- Pertentangan politik dan teologi
Konflik dan pertikaian anatar Ali dan Abu Bakar, antara
Ali dan Mu’awiyah, antara Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik, kemudian antara
Kaum Umawi dan Kaum Abbasi, dan beberapa konflik lain dalam internal umat
muslim yang diduga menjadi pemicu munculnya hadis-hadis palsu. Pemalsuan oleh
satu golongan memotivasi kelompok lain untul membuat hadis palsu juga demi
mempertahankan dan membela golongannya.
- Perselisihan di bidang Ilmu Kalam dan fiqh
Amin mengatakan bahwa para ahli kalam telah berselisih
dalam soal qadar, jabar, dan ikhtiar. Segolongan membolehkan kalangannya
membuat hadis-hadis untuk penguat aliran mereka. Anatar golongan tersebut
saling menyerang satu sama lain dengan hadis sebagai alat legitimasi. Di kalangan fuqaha juga terjadi
perselisihan mengani hukum Islam. Amin menyatakan bahwa tidak ada suatu cabang
pembahasan fiqh yang berbeda, kecuali tentu ada hadis yang menopangnya. Ia juga
mengatakn bahwa madzhab Hanafi yang disebut-sebut hanya mengakui sedikit hadis
saja, dalam kitab-kitabnya justru dipenuhi hadis-hadis yang jumlahnya tidamk
sedikit.
- Kecondongan Ulama Kepada Penguasa
Amin memberikan contoh yang
terkait dengan hal ini, yaitu seperti yang diriwayatkan dari Ghoyyat ibn
Ibrahim bahwa ia pernah masuk ketempat al-Mahdi yang mempunyai kegemaran
mengadu burung dara, kemudian ia meriwayatkan suatu hadis ‘Tak boleh berpacu
kecuali dengan hewan yang berteracak dan bersayap’ lalu ia diberi hadiah 10.000
dirham. Periwayatan hadis tersebut tidak lain adalah untuk tujuan tertentu dan
untuk mendapatkan keuntungan dari penguasa.
- Ada ulama yang membolehkan membuat
hadis-hadis yang berisi tentang keutamaan-keutamaan dan anjuran beribadah.
Hadis-hadis ini tidak terhitung banyaknya, dan
melalui ini pula pembawa cerita memasukkan cerita mereka ke dalam hadis.
- Adanya Manusia yang
Berlebihan dalam Bersandar pada Sunnah
Dalam hal ini Amin menyatakan bahwa pada saat itu tidak
mau menerima suatu ilmu kecuali yang erat kaitannya dengan Qur’an dan Hadis.
Hukum halal haram yang hanya disandarkan pada ijtihad tidak akan setaraf dengan
yang disandarkan kepada hadis. Semua ini mendorong sebagian ulama memberi corak
kepada ilmu-ilmu baru yang berasal dari luar Islam dengan corak keagamaan agar
dapat diterima.
b). Adalat al
Shahabah
Keadilan perawi
hadis merupakan syarat bagi diterimanya sebuah hadis. Begitu juga, perawi
tingkat sahabat yang juga disyaratkan adil dalam membawa hadis. Dalam hal
keadilan sahabat, Amin menyatakan bahwa kebanyakan kritikus hadis menganggap
semua sahabat itu adil, sehingga para kritikus itu tidak ada yang menisbatkan
seorang sahabat kepada kebohongan dan keburukan. Demi memperkuat pendapatnya
itu, Amin mengemukakan bukti dengan mengutip pendapat al-Ghazali yang mangatakan
bahwa ta’dil terhadap sahabat itu tidak perlu karena Allah telah mengaggap
semua sahabat adil dan memuji mereka di dalam al-Qur’an. Bukti lain yang
dikemukakan Amin yaitu, bahwa para sahabat sendiri pada zamannya mereka saling
mengkritik dan memposisikan sebagian lebih tinggi daripada sebagian yang lain.[18]
Bagi Amin, sahabat tetaplah manusia biasa yang juga bisa
melakukan kesalahan dan. Amin mencontohkan hadis Abu Hurairah tentang keharusan
berwudhu setelah membawa jenazah yang oleh Ibn Abbas hadis tersebut ditolak.
Selain itu juga penolakan Aisyah terhadap hadis yang di bawa Abu Hurairah
mengenai pembasuhan tangan setelah bangun tidur.[19]
b)
Pandangan
terhadap Pemikiran Ahmad Amin
Ahmad Amin telah mulai meragukan hadis dari segi
penanganan historis pembukuan hadis. Nmun, oleh Juynboll dikatakan bahwa Amin seorang
intelektual muslim yang bersikap kritis terhadap otentisitas historis hadis.[20]
Ia juga dikatakan banyak terpengaruh oleh pemikiran orientalis tentang hadis,
seperti Ignaz Goldziher.
Ahmad Amin oleh sebagian orang dipandang sebagai inkar
al-sunnah karena kritiknya yang keras terhadap hadis. Di dalam karyanya, fajr
al-Islam, Amin menyampaikan kritiknya yang keras dengan menggugat
otentisitas hadis dan hal-hal seputar pembukuan hadis. Ia juga meragukan
keadilan sahabat sebagai generasi awal yang oleh jumhur ulama dikatakan semua
adil.
Hasbie Ash-Shiddiqie juga memberikan komentar terhadap
keberanian Amin dalam mengkritik hadis. menurutnya, uraian Amin tentang hadis
menimbulkan 8 keraguan terhadap : (1)kebenaran
sahabat, (2)
Abu Hurairah secara khusus, (3) sebagian ulama, seperti Ibn Mubarak, (4) hadis-hadis tafsir, (5) hadis-hadis
fada’ilul amal, (6) hadis-hadis shahih, (7) ulama jarh wa ta’dil (8), sistem yang ditempuh
ulama hadis dalam menulis dan meriwayatkan hadis.[21]
Banyak ulama hadis yang tidak sependapat dengan
pandangan Amin tentang hadis. Salah satunya yang secara khusus menyerang balik
pernyataan Amin adalah Musthafa al-Siba’i. Ia adalah tokoh ahli hadis, ahli
hukum Islam dan sejarah dan tentu saja ia adalah seorang pembela hadis.
Al-Siba’i dalam karyanya al-Sunnah wa Maknatuha fi al-Tasyri’ al-Islami,
melakukan kritik balik terhadap setiap poin-poin yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin.
Dalam hal pembukuan hadis, al-Siba’i tidak sependapat
dengan Amin. Menurutnya, pembukuan Hadis dan Al-Qur’an memang tidak sama
penanganannya. Pembukuan Hadis dan al-Qur’an pada saat yang bersamaan sangatlah
berat dan hampir mustahil. Sedangkan penulisan hadis memang sudah ada sejak
masa nabi berupa shuhuf-shuhuf, misalnya shuhuf Abdullah bin Amr bin Ash,
tetapi masih bersifat perorangan. Selain itu, Nabi juga banyak menulis surat kepada raja-raja di zamannya.[22]
Al-Siba’i juga tidak
sependapat dalam hal permulaan pemalsuan hadis. Ia tidak menyangkal bahwa telah
terjadi pemalsuan hadis, namun pemalsuan hadis pada masa Nabi dengan
menyandarkan pada hadis “man kaana ‘alaiyya muta’ammidan fal yatabawwa’
maq’adahu muta’ammidan” hanya bersifat dugaan dan terbukti bahwa dalam
sejarah tidak pernah ada sahabat yang memalsukan hadis pada masa Nabi. Selain
itu, hadis tersebut di sampaikan tidak dengan sanadnya atau tidak ada asbabun
nuzulnya. Hadis tersebut disabdakan adalah sebagai bentuk peringatan terhadap
generasi berikutnya.[23]
PENUTUP
Kesimpulan
Ahmad Amin merupakan salah satu tokoh kontemporer yang
hidup di era di mana umat Islam sudah mulai bangkit dari ketertinggalannya
terhadap pemikiran Barat. Karir intelektualnya menunjukkan bahwa Amin adalah
seorang tokoh yang aktif dan produktif. Ia tidak hanya belajar ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga mengenyam pendidikan Barat. Sebagai doktor dalam bidang
hadis di Cambridge University, Amin merupakan intelektual Muslim yang sangat
menggandrungi pemikiran orientalis, khusunya Ignaz Goldziher. Tentu saja hal
ini berimplikasi pada pemikirannya yang
kritis
Pemikirannya yang dianggap kontroversi salah satunya
adalah mengenai hadis. Ia memiliki keragu-raguan terhadap hadis. Di dalam
karyanya, Fajr al-Islam, ia menggugat otentisitas hadis dari segi
pembukuan dan periwayatan. Selain
itu, ia juga tidak percaya tentang keadilan semua sahabat. Menurutnya, pemalsuan hadis itu sudah ada sejak masa Nabi saw. Ia
mengatakan bahwa ada segolongan orang yang memberanikan diri menyandarkan hadis
pada Nabi. Ia juga mengatakan bahwa pemalsuan hadis lebih mudah dilakukan
setelah Nabi wafat, contohnya dalah pada hadis-hadis keutamaan dan hadis
tafsir. Hadis yang bisa dijadikan hujjah dan memebri faedah ilmu menurut Amin
hanyalah hadis muttawatir. Sedangkan hadis Ahad sama sekali tidak memberi
faedah ilmu.
Pemikiran Amin yang cukup berani tersebut, mengundang
reaksi dari para ulama dan tokoh Islam yang selama ini memegangi hadis sebagai
otoritas keagamaan setelah al-Qur’an. Beberapa yang memberikan penilaian adalah
Hasbie Ash-Shiddiqie, dan yang secara langsung menyerang balik terhadap
pemikiran Amin adalah Mustahaf al-Siba’i.
Pada dasarnya setiap pemikiran tidak ada yang sempurna,
pasti ada penilaian dan menuai kritik dari orang lain. Sebagai karya
intelektual, pemikrian Amin terhadap hadis harus dipandang secara proporsional.
Pemikirannya telah menambah khazanah intelektual keilmuan Islam pada umunya dan
hadis secara khusus. Sehingga setiap pemikiran kritis dapat membuat Islam lebih
dinamis.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. 1967. Jakarta
: Bulan Bintang
Juynboll, G.H.A. Kontroversi hadis di
Mesir. 1999. Bandung : Mizan
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah : Kritik Musthafa al-Siba’i
terhadap
Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam. 2003.
Jakarta
: Prenada media
TIM Mahasiswa TH-Khusus angkatan ’07. Yang
Membela dan Yang Menggugat. 2012.
Yogyakarta
: CSS SUKA Press
TIM Mahasiswa TH-Khusus angkatan ’07. Yang
Membela dan Yang Menggugat. 2011
Yogyakarta
: Interpena
Ekawati, Otentisitas : Studi Atas Pemikiran Ahmad
Amin dan Kasim Ahmad, Skripsi, 2006, Fak. Ushuluddin, Yogyakarta, hlm. 64
[6] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 86.
[8] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 95.
[9] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 96.
[10] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 101.
[11] G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir , hlm 75.
[12] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 268-269.
[13] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 271.
[14] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 102.
[15] Ekawati,
Otentisitas : Studi Atas Pemikiran Ahmad Amin dan Kasim Ahmad, Skripsi,
2006, Fak. Ushuluddin, Yogyakarta, hlm. 64
[16] Ibid, hlm. 65.
[17] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 275-277.
[18] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 124.
[19] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 124-126.
[20] G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir , hlm 53.
[21] Tim Mahasiswa TH-Khusus ’07, Yang Membela dan Yang Menggugat,
(Yogyakarta : Interpena, 2011), hlm. 208.
[22] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 161.
[23] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah…hlm. 140.
No comments:
Post a Comment