Sejarah
mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Ranah mengenai sejarah pasti lahirnya
dan perkembangan jilbab di Indonesia juga belum banyak tersentuh dan tidak
banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang
mengaku sebagai hijabers dan desainer dari hijab itu sendiri.
Diperkirakan sekitar tahun 1400 M atau 6 abad yang
lalu sudah ada beberapa wanita yang berjilbab, yaitu : Sultanah Sri Ratu
Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu, yang memerintah kerajaan Samudera Pasai hingga
tahun 1427 M, Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam Shah Johan berdaulat
yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1675, dan Sultanah Sri
Ratu Zakiatuddin Inayat Syah yang memerintah tahun 1678-1688 M. Cara
berkerudung mereka masih berupa selendang atau kain yang dijadikan sebagai
penutup kepala.
Terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan Ratu
Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin yang keduanaya memakai baju lengan panjang
dengan jilbab di kepalanya. Lukisan itu dibuat oleh pemerhati sejarah Aceh
sekaligus pelukis kelaahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Selain itu,
terdapat sebuah buku yang berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Di bawah Pemerintahan
Ratu”, halaman 206 yang ditulis oleh Muhammad Ali Hasjmi yang dianggap
memperkuat lukisan Sayeed Dahlan. Di dalamnya, Hasjmi menerangkan bahwa dalam
tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muhammad Said tahun 1683 M),
rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sutanah Sri Ratu
Zakiatuddin Inayat Syah, merasa terkagum-kagum dengan pemandangan Banda Aceh
yang cantik dan permai. Kekaguman mereka bertamabah ketika melihat para tentara
pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai
kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa, dan perak. Tingkah
laku dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahai peraturan agama
Islam.
Peneliti sejarah Islam dari International Islamic
University Malaysia (IIUM), Alwi Alatas, juga menerangkan hal yang sama. Ia
menemukan ilustrasi pakaian wanita Aceh yang tertutup rapat. Buku Denys
Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), pada
halaman 365 terdapat ilustrasi “an Achein woman” yang jilbabnya cukup rapat.
Lombard menyebutkan bahwa gambar itu diambil dari Peter Mundy, tahun 1637,
terang Alwi, Jum’at 19/04/2013.
Pada perkembangannya, sekitar tahun 1800-1900 an,
sudah banyak kita dapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup.
Mereka itu seperti, Nyai Achmad Dahlan beserta pengururs Nasyiatul Asiyah
Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api
Sejarahnya Ahamd Mansur Suryanegara halaman 422 dan 424. Selain itu juga
ada Cut Nyak Dhien yang dalam lukisan dan fotonya digambarkan mengalungkan
sebuah selendang di lehernya yang diperkirakan selendang itu berfungsi sebagai
kerudung. Tokoh Muslimah lain, yaitu Rahmah El Yunusiyah yang di dalam foto
terlihat sangat menutup aurat dengan jilbab panjang dan baju yang tidak ketat.
begitu pula Tengku Fakinah seorang mujahidah asal Aceh yang pada tahun 1873
turun dalam peperangan melawan agresi Belanda juga digambarkan sebagai wanita
yang berjilbab.
Ada juga
orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala.
Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah.
(G.F.Pjiper, Fragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di
Indonesia Awal Abad XX). Para pejuang muslimah Indonesia masih banyak yang tidak
berkerudung pada saat itu jika dibandingkan dengan jumlah wanita yang
berkerudung. Menurut Muhammad Isa Anshory, peneliti sejarah Pusat Studi
Peradaban Isla (PSPI) Solo, hal ini karena masih sangat sulit untuk mengakses
banyak kitab-kitab fiqh sedangkan fiqh yang dipakai pada saat itu tidak
berkembang.
Sejarah mengani jilbab di Indonesia juga tidak
terlepas dari sejarah perjuangan para wanita muslimah untuk menerapkan dan
memakainya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rahmah El Yunusiyyah yang pada
tahun 1935 mewakili kaum Ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum
Perempuan di Batavia. Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakain busana
perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selia itu, masih dalam
kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam
kebudayaan Indonesia.
Peristiwa pencabutan hak untuk berjilbab oleh
pemerintah pusat juga pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa ini berawal dari
para siswi berjilbab si SPG Negeri Bandung yang hendak dipisahkan pada lokal
khusus. Mereka langsung memberontak atas perlakuan diskriminatif terhadap
jilbab mereka. Melihat hal ini, ketua MUI Jawa Barat segera turun tangan hingga
pemisahan itu berhasil digagalkan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1979.
Kemudian, pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan Menengah, Prof.Darji
Darmodihardjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang seragam sekolah
nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.
Pada saat itu memang tengah gencar-gencarnya
penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Para muslimah banyak yang
hengkang dari studi demi konsisten unutk menjalankan syariat Islam. Mereka yang
diusir dari sekolah karena jilbabnya sampai membawa perkara ini ke pengadilan.
Bahkan, mengkin untuk pertama kalinya, keputusan tersebut berujung pada
revolusi dan mengundang protes dari ribuan mahasiswa dan pelajar berjilbab di
berbagai kota besar yang turun ke jalan. Sejak terjadinya gelombang revolusi
tersebut, keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut
larangan tentang pemakaian jilbab sebelumnya oleh pemerintah pusat.
No comments:
Post a Comment