Monday, October 14, 2013

LIVING QUR'AN


A.    PENDAHULUAN

Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci umat Islam yang memuat banyak hal dan bisa digunakan untuk banyak hal. Beberapa ulama mendukung pendapat tersebut, salah satunya adalah Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111M) yang di dalam Ihya Ulumuddin menyerukan bahwa Al-Qur’an memuat semua jenis ilmu dan pengetahuan baik secara eksplisit maupun implisit. Secara turun menurun, pendapat ini masih dipegang erat, tidak hanya oleh well-versed muslim tetapi juga muslim awam. Di antara sarjana muslim yang mengikuti pendapat Al-Ghazali adalah Farid Esack. Dalam bukunya, Al-Quran: a Short Introduction, Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims.[1] Al-Quran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim.

Al-Quran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Al-Quran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Al-Quran tetap dijadikan pegangan hidup.
Walhasil, Al-Qur’an adalah kitab yang Shalih likulli Zaman wa Makan yang ia selalu dibaca, dikaji, dipelajari dan dikembangkan kajiannya dari ketika Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang, tidak hanya oleh muslim sendiri tetapi juga oleh non-muslim. Artikel ini mencoba menawarkan pengembangan kajian Al-Qur’an tidak pada teks Al-Qur’anan sich, tetapi pada kepentingan dan fungsi praksis Al-Qur’an  (di luar aspek tekstual Al-Qur’an). Mengingat interaksi (baca: resepsi) umat Islam terhadap Al-Qur’an di dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam, tidak hanya menafsirkan teks Al-Qur’an saja, tetapi memperlakukan Al-Qur’an sebagai ‘entitas’ yang bernilai atau yang dalam artikel ini disebut dengan istilah Living Qur’an (Al-Qur’an yang hidup dalam kehidupan sehari-hari). Kajian Living Qur’an ini masih jarang mendapatkan perhatian.
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) sebagai pusat kajian Al-Qur’an sudah saatnya melakukan pengembangan-pengembangan kajian tanpa meninggalkan model-model kajian yang selama ini sudah mapan, seperti tahfidz, naqam, tafsir dan qiraat. Tulisan ini mencoba memantik para civitas akademika IIQ untuk keluar dari mainstream genre kajian yang selama ini ada, sebab ‘di luar’ sana (baca: di luar IIQ), kajian Al-Qur’an sudah semakin berkembang.
B.     INTERAKSI MANUSIA TERHADAP AL-QUR’ANMemetakan bagaimana interaksi umat beragama terhadap al-Qur’an bukanlah pekerjaan mudah. Meskipun begitu, tidaklah salah kiranya melakukan pemetakan awal sebagai langkah untuk mengetahui secara jelas posisi-posisi bagaimana  manusia (umat beragama) berinteraksi dengan al-Qur’an. Mengingat, tidak hanya umat Islam saja yang berinteraksi dengan al-Qur’an melainkan juga umat-umat non-Islam.
Dalam sejarah studi al-Qur’an-sejauh pengetahuan penulis-hanya ada dua sarjana yang berusaha melakukan pemetaaan ini, yakni almarhum Fazlur Rahman (w. 1988), intelektual muslim kelahiran Pakistan dan Farid Esack, doktor bidang ilmu Tafsir al-Qur’an berkulit hitam asal Afrika Selatan.
Dalam pemetaannya, Fazlur Rahman menggunakan analogi sebuah negara. Menurut pengamatannya, ada tiga kelompok besar pengkaji al-Qur’an, yakni citizents (penduduk asli, umat Islam), foreigners (kelompok asing/non-muslim yang mengkaji al-Qur’an) dan invanders (penjajah, kelompok yang ingin menghancurkan al-Qur’an).[2]Sedangkan pemetakaan yang dilakukan oleh Farid Esack dalam bukunya The Qur’an: a Short Introduction[3] agak jauh berbeda dan lebih mendetail. Dalam hal ini, Farid Esack menggunakan analogi interaksi antara seorang pecinta (lover), kelompok yang berinteraksi dengan al-Qur’an dan yang dicinta (beloved), yakni al-Qur’an.
Pemetaan ini tidak berpretensi menilai (evaluative) bahwa cara interaksi suatu kelompok tertentu itu lebih baik ketimbang kelompok yang lain.  Namun, pemetakan ini lebih ditujukan sebagai sebuah gambaran (descriptive) umum saja, tidak ada penilaian (evaluation) di dalamnya, sebagaimana yang diungkapkan di dalam buku tersebut.
Secara garis besar, ada dua bagian besar yang masing-masing bagian itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Bagian pertama adalah umat Islam sendiri. Dan bagian kedua adalah non-muslim.
Bagian pertama ini memuat tiga kelompok. Kelompok pertama disebut dengan uncritical lover (pecinta tak kritis). Kelompok ini adalah orang-orang muslim awam (ordinary muslims). Kelompok ini berinteraksi dengan kekasihnya (baca: al-Qur’an) secara ‘buta’, bahwa kekasihnya, al-Qur’an adalah segala-galanya, tanpa pernah mencoba meragukan atau menanyakan tentang al-Qur’an. Bahkan, keindahan dan keagungan al-Qur’an bisa menjadikan mereka mengalami sebuah pengalaman spiritual yang hebat. Dalam kelompok ini, al-Qur’an menjadi sebuah entitas yang bernilai dengan sendirinya dan memberikan pengaruh kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Kelompok kedua adalah scholarly lover, yakni sarjana muslim konvensional. Mereka ini adalah pecinta al-Qur’an yang berusaha menjelaskan kepada dunia mengapa al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu dari Tuhan Allah yang membawa kebenaran dan oleh karenanya perlu diterima dan dijadikan sebagai pegangan hidup. Para pecinta ini menjelaskan kehebatan atau I’jaz al-Qur’an secara ilmiah dengan piranti-piranti keilmuan yang sudah mapan, yakni ilmu tafsir (ulum al-Quran).
Ulama-ulama yang termasuk kelompok ini di antaranya adalah Abu al-’Ala al-Maududi dengan Tafhimul Qur’an, Amin Ahsan Islahi dengan Tadabbur al-Qur’an, Husain Taba’tabai dengan Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Aishah ‘Abdurrahman (Bintu Shati’) dengan Al-Tafsir al-Bayan li Qur’an al-Karim, Abu al-Kasim al-Khu’i dengan  Al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an dan masih banyak lagi lainnya.
Kelompok ketiga adalah critical lover, pecinta yang kritis. Mereka berusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul (otentisitas) dan bahasa kekasihnya (al-Qur’an), sebagai refleksi kedalaman cinta. Di antara sarjana muslim yang  termasuk kelompok ini adalah Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkoun.
Bagian kedua yang memuat non-muslim terbagi menjadi tiga kelompok juga. Kelompok pertama dinamai The Friend of Lover, teman pecinta. Kelompok ini berbeda tipis dengan kelompok critical lover. Yang membedakan hanyalah identitas keagamaan, yakni non-muslim. Biasanya kelompok ini dihuni oleh para orientalis (outsider) yang ‘baik’, di antara mereka adalah Kenneth Cragg dengan karyanya The Event of the QuranIslam and its Scripture; Reading in the Quran, Montgomery Watt dengan karyanya Campanion to the Quran,  William Graham dengan karyanya Divine Word and Prophetic World in Early Islam.Kelompok kedua sering disebut dengan revisionist. Kelompok non-muslim ini acap kali ingin melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya merevisi al-Qur’an beserta aspek-aspek inherennya. Dan juga berusaha melemahkan al-Qur’an dengan bukti-bukti akademis. Kasus terbaru yang termasuk dalam kelompok ini adalah ulah Christoph Lexenborg (nama samaran) yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu sebenarnya berasal dari bahasa Aramaik-Syiria. Sebelum dia, juga ada beberapa orientalis yang memiliki kecenderungan yang sama, di antaranya adalah Patricia Crone dan Michael Cook. Kelompok ketiga adalah polemicist, yakni non-muslim yang menolak al-Qur’an secara membabi-buta. Model kelompok ketiga ini termasuk bentuk interaksi terhadap al-Qur’an.
Kiranya, pemetaan baru ini atau lebih tepatnya tipologi interaksi manusia terhadap al-Qur’an perlu diperkenalkan kepada umat Islam sebagai khasanah dan frame dalam melihat begitu banyaknya gaya dan model interaksi manusia terhadap al-Qur’an. Wilayah Living Qur’an lebih banyak berfokus pada kelompok pertama dari bagian pertama (uncritical lover). Namun tidak menutup kemungkinan juga pada kelompok lainnya.
Living Qur’an yang dilakukan oleh umat Islam tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Al-Qur’an. Sebab, mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Al-Qur’an) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Al-Qur’an. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.
Interaksi terhadap Al-Qur’an semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Al-Qur’an. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir). Bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi banget sisi psikologis si pelaku.
Dalam istilah teknis lainnya, interaksi juga disebut resepsi. Kata resepsi dapat dipergunakan untuk mewakili perilaku interaksi antara al-Quran dan penganutnya tersebut. Menurut Muhammad Nur Kholis Setiawan[4] secara teoritis, ada tiga bentuk resepsi masyarakat terhadap al-Quran. Pertama, resepsi kultural, yang mencoba mengungkap pengaruh dan peran al-Quran dalam membentuk kultur dan budaya masyarakat. Kedua resepsi hermeneutik, yang mengungkap perkembangan-perkembangan yang terkait dengan studi interpretasi teks dan aktivitas interpretasi teks itu sendiri. Ketiga resepsi estetik, yang mengungkap proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa akan sebuah objek atau penampakan. Nah, lokus kajian Living Qur’an ada pada resepsi kultural dan estetik. Mereka yang melakukan resepsi kultural dan estetik terhadap al-Qur’an adalah juga kategori pecinta Al-Qur’an.
C.    CONTOH-CONTOH KARYA LIVING QUR’ANDalam lintasan sejarah Islam, bahkan pada era yang sangat dini, praktik memperlakukan Al-Qur’an atau unit-unit tertentu Al-Qur’an sehingga bermakna dalam kehidupan praksis umat pada dasarnya sudah terjadi. Menurut riwayat Nabi Muhammad SAW pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surat Al-Fatihah atau menolak sihir dengan bacaan surat al-Mu’awidzatain. Pada zaman ini, Al-Qur’an (baca Al-Fatihah dan Surah Al-Mu’awidzatain) diperlakukan sebagai pemangku fungsi di luar kapasitasnya sebagai teks.[5] Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut bergulir sampai generasi-generasi berikutnya bahkan sampai sekarang.
Dalam pengamatan penulis ada sejumlah artikel dan buku, yang sedikit banyak menyinggung persoalan ini dan cukup mampu merangsang penelitian-penelitian tentang Living Qur’an lebih jauh lagi. Artikel dan buku[6] tersebut adalah
  1. “Kitab Suci” dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya karya Emha Ainun Nadjib.[7] Di dalam buku ini Emha berkisah:

“….kalau Al-Qur’an saya terjatuh karena kurang berhati-hati waktu berlari-lari dari rumah menuju Masjid di Maghrib hari, dengan wajah sedih Ibu saya menyuruh saya mencium dan nyunggi (Jw: membawa) Kitab suci itu di kepala saya sambil membaca istigfar, minta maaf, sorry pada Tuhan….”Dalam kisah tersebut, Ibu Emha menyakini (mood of thought) bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu atau entitas yangsacret, dan bernilai tinggi, sehingga ia harus diperlakukan secara baik (mood of conduct). Apabila tidak diperlakukan dengan baik, maka berdosa dan harus minta maaf.
“…ketika saya mencuri krai (semacam mentimundi sawah sehabis pulang sekolah….perbuatan jahat saya itu diketahui Ibu, dan beliau naik pitam. Saya dan adik saya digiring ke rumah Mak Tun, pemiliki krai itu dan disuruh mohon ampun habis-habisan. “Qur’anmu jatuh dari ubun-ubunmu”, kata Ibu, “kamu harus membayar ongkosnya dengan nderes Qur’an tujuh kali khatam.”
Kutipan di atas menyiratkan bahwa Al-Qur’an adalah kendali otak manusia. Apabila manusia melakukan kesalahan maka kendali tersebut jatuh dari otaknya. Dan kendali itupun harus dikembalikan dengan cara membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an digunakan sebagai ‘semacam alat penebus dosa’ atau alat menumbuh kebaikan untuk memupus dosa.
“….ternyata hal cium-mencium Kitab Suci ini memang soal serius…. Memang menciup fisik Qur’an makin lama makin terasa bau keringat, apak, karena sering dipakai…Tapi mencium ruhnya, sekarang atau nanti, esok atau lusa, minggu depan dan bulan berikut, makin semerbak kembang. Qur’an selalu memberi pengalaman baru. Memberi rasa baru, rasa baru yang rill, memberi kehidupan baru. Terus menerus.”Nalar yang dibangun orang awam ketika mencium Al-Qur’an bukanlah mencium fisiknya, tetapi ruhnya. Ruh itu mewujud dalam rasa yang baru dalam kehidupan yang terkadang susah digambarkan, sebagaimana kutipan berikut ini:
“….dalam proses pergaulannya dengan si ruh Kitab Suci merupakan gerak ke cakrawala tanpapernah henti. Nanti sampai di rumah, sesekali kita baca fisik al-Qur’an itu dengan tartil dan tiba-tiba lahirlah sesuatu yang baru. Jiwa kita menjadi baru. Ruh itu menumbuhkan kekayaan yang baru…”Kemudian:
“….Nilai-nilai dasar yang dikandung Kitab Suci itu sudah tertera dalam naluri jiwa manusia secara fitrah. Jadi, asal setia penuh pada hatinurani, insyaallah sesuai dengan Kitab Suci. Ada lagi orang yang sekadar bisa baca Qur’an saja: punya tradisi nderes Qur’an berjam-jam…fly, bercinta begitu khusyuk dan romantik dengan Tuhannya. Memang ia tidak bisa mengartikan Bahasa Arab, tetapi percintaan itu sudah berlangsung dengan sistem komunikasi tersendiri.”Kutipan di atas menyatakan bahwa Al-Qur’an itu sudah ada di dalam nurani manusia. Sehingga apabila manusia melakukan sesuatu yang bertentangan nurani kebanyakan manusia, maka perbuatan itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Kutipan di atas juga menyatakan bahwa al-Qur’an diyakini sebagai alat komunikasi percintaan antara manusia dengan Tuhannya yang sangat rahasia sekali. Komunikasi yang dibangun melalui Al-Qur’an ini bisa mengasah instink keilahian manusia, sebagaimana kutipan berikut ini:
“….Kitab suci itu semacam ungkal.[8] Kita pakai untuk mengasah clurit batin kita. Mengasah kesetiaan. Iman taqwa. Racinta. Komitmen. Kelembutan intuisi dan ketajaman instink keilahian kita.”2.  Makalah dengan tajuk The Qur’an in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory, karya Anne K. Rasmussen dari College of William and Mary.[9] Makalah ini menuliskan tentang entografi atau kajian kebudayaan masyarakat/komunitas pembaca Al-Qur’an di Indonesia, khususnya pembaca perempuan dan tepatnya di IIQ pada tahun 90-an. Tulisan ini sebetulnya adalah kitab Ibu Anne K. Rusmussen yang belajar dan sekaligus meneliti tentang ragam gaya nyanyian (musical/maqam) pembacaan Al-Qur’an di IIQ.
Pada awal tulisan, Anne mengisahkan tentang transmisi tradisi Qiraah di Jakarta yang diajarkan oleh guru Drs. H. Moersjied Qari’ Indra yang memperkenalkan lagu belajar Qiraah atau Tawashih dan Hj. Maria Ulfa, MA., yang telah terlibat dalam sejumlah festival baca Al-Qur’an internasional dan telah berperan dalam mengajarkan Qiraah.
Setelah itu, Anne juga menyinggung tentang berdirinya institusi al-Qur’an yang khusus untuk perempuan yakni IIQ, dan khusus untuk laki-laki (PTIQ). Di mata Ibu Anne ini unik dan menunjukkan bahwa IIQ dan PTIQ merupakan produk dari meningkatnya semangat keagamaan pada masa Orde Baru. Dia juga mengisahkan sejarah dikirimnya ahli Qiraah dari Mesir, Abd Al-Basit Abd Al-Samad, Mahmud Khalil Al-Husari dan Abd Al-Hayy Muhammad Al-Zahrah, ke Indonesia untuk mengajar Qiraah, yang kemudian metode pembelajarannya diadopsi dan diinstitusionalkan oleh IIQ dan PTIQ.
Setelah itu, Ibu Anne juga mengeksplorasi jenis-jenis atau gaya bacaan dalam Qiraah seperti bayati shuri atauBayati Jawab, maqam saba, qaflah bastanjar. Selain itu juga dijelaskan betapa Qari dan Qiraah ini telah menjadi spesialis ritual (ritual specialist) pada acara-acara tertentu seperti pembukaan acara yang diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan imam tarawih pada bulan Ramadhan dan sebagainya.
Selanjutnya Ibu Anne juga mengisahkan tentang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), meliputi kriteria penilaian hingga menjadinya MTQ sebagai proyek Nasional.
Tulisan ini menarik sebagai salah satu contoh kajian living qur’an.
3. The Qur’an: A Short Introduction, karya Farid Esack. Secara umum, buku ini adalah buku Ulumul Qur’an,[10]namun Farid Esack memasukkan pembahasan The Qur’an in the Lives of Muslims. Pada bab I buku ini, Farid Esack banyak berkisah tentang bagaimana muslim Afrika mengenal Al-Qur’an, mempelajari, menghafal dan memperlakukan Al-Qur’an. Anak-anak di Afrika belajar membaca Al-Qur’an seusai pulang sekolah selama dua jam. Bahkan Farid Esack juga bercerita ketika di Inggris dia bertemu dengan orang Mesir Koptik yang hafal separuh Al-Qur’an. Proses menghafal tersebut dilakukannya ketika masih di desa dan orangtuanya merasa menghafal al-Qur’an adalah hal yang penting ketimbang lainnya.
Farid Esack juga mengisahkan ibunya yang menjadi ibu rumah tangga. Tatkala memasak makanan, ibunya sering bergumam membacakan salah satu ayat Al-Qur’an dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Al-Qur’an dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an. Fenomena-fenomena tersebut mengantarkan Farid Esack pada kesimpulan bahwa bagi muslim Al-Qur’an itu hidup (alive) dan memiliki quasi-human personality.Dalam bab ini, Farid Esack juga mengutip sebuah kisah dari Abdullah Quasem Ahmad yang mengisahkan Hujjatul Islam, al-Ghazali. Kisah ini diriwayatkan dari Imam Al-Ghazali dari Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal pernah bermimpi bertemu Tuhan. Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka bisa meraih kedekatan tersebut. Tuhan menjawab: “Dengan firmanku, wahai Ahmad.” Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Dengan memahami makna firmanmu atau tanpa memehaminya?” Terhadap pertanyaan ini, Tuhan menjawab: “Baik dengan memahaminya maupun tidak.”
Fenomena-fenomena interaksi manusia dengan Al-Qur’an sehari-hari yang dilukiskan oleh Farid Esack sebetulnya sangat menarik untuk diteliti lebih jauh.
4. The Qur’an: God and Man Communication karya Almarhum Nasr Hamid Abu Zayd.[11] Dalam tulisan panjang tersebut ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan canel komunikasi manusia dengan Tuhan.
Pada awalnya, Nasr Hamid memaparkan asal mula proses pewahyuan, bahwa lima ayat pertama Al-Qur’an menentukan bentuk/model  komunikasi manusia dan Tuhan. Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca (‘iqra’, yang kemudian menjadi qira’ah dan qur’an). Kehadiran Jibril adalah sebagai pembicara atau pemberi inspirasi (wahyu) dan Nabi Muhammad sebagai yang dituju.
Dari sini Nasr Hamid menganggap penting bahwa wahyu dan bacaan (qiraah) itu dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan ruang tengah eksistensi di mana Tuhan dan manusia bertemu. Ada dimensi lain, selain wahyu dan qiraah, yakni dimensi oral dan aural yang hadir dalam pertemuan Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Sebelum membaca, Nabi Muhammad mendengarkan. Dalam pewahyuan berikutnya, Nabi dinasehati untuk tidak membaca secara tergesa-gesa apa yang telah diwahyukan kepadanya (Q.S.75:18), yang berarti bahwa Nabi Muhammad seharusnya mendengarkan terlebih dahulu secara penuh perhatian kepada Malaikat dan kemudian membacakannya. Mendengarkan secara penuh perhatian, insat, terhadap pembacaan al-Qur’an, menurut al-Qur’an, merupakan sebuah kesempatan bagi seorang yang beriman untuk mendapat rahmat Tuhan (Q.S.7:204). Mendengarkan bukan sekadar sebuah aksi pasif, namun lebih pada aksi internal, intim dan aksi perasaan hati untuk memahami.
Dalam sebuah hadis, pembaca al-Qur’an dianjurkan membaca al-Qur’an seolah-olah al-Qur’an tersebut diwahyukan ke dalam hatinya. Konsekuensinya, pendengar harus sadar kenyataan bahwa dia (laki-laki maupun perempuan) sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam shalat, orang yang beriman menjadi pembaca dan pendengar sekaligus, yang kemudian beraksi sebagai pembicara dan penerima wahyu dalam waktu yang sama.
Oleh sebab itu, segala kegiatan yang melibatkan Al-Qur’an (wahyu Tuhan yang dibaca) pada dasarnya sedang terjadi komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Di dalam shalat, misalnya, diperkenalkan melalui komunikasi langsung antara Allah dan Muhammad melalui sebuah perjalanan yang disebut dengan miraj yang disinggung di dalam surah 53 yang disebut an-NajmDi dalam ayat-ayat 18 pertama dari surah an-Najm ini, kita bisa memahami sebuah pertemuan yang kosmis yang di dalamnya Muhammad, Jibri dan Tuhan hadir. Ayat-ayat tersebut secara nyata menunjuk orang-orang Makkah; baik Muhammad maupun Jibril dirujuk dengan kata sifat, Muhammad sebagai  sahibikum, saudaramu (Q.S.53:2), dan Jibril sebagai ‘Kekuatan yang besar, dan memberkahi dengan Kearifan (Q.S.53:5-6). Sumpah ‘demi jatuhnya bintang’ di dalam ayat pertama merefleksikan sebuah pergerakan ke bawah berlawanan dengan gerak ke atas Muhammad menuju, al-ufuq al-ala, di mana Muhammad akan menerima wahy secara langsung. Jibril Gabriel digambarkan sudah berada di  al-ufuq al-ala. Kata ganti-kata ganti yang merujuk kepada Muhammad, Jibril dan Tuhan secara puitis ambigu di dalam ayat 8 dan 13. Perjalanan kosmis menyeluruh ini disimpulkan oleh indikasi bahwa Muhammad benar-benar melihat beberapa Tanda-Tanda Kebesaran Tuhannya, sebuah rujukan yang jelas pada perjalanan malam, Al-isra (Q.S.17:1-2).
Selama perjalanan kosmis ini,  mi`raj, dan melalui wahy secara langsung salat diperkenalkan sebagai sebuah ritual wajib yang harus dilaksanakan lima kali sehari, sehingga sumber-sumber Islam menginformasikan kepada kita. Peristiwa ini menjadikan salat sebuah status yang sangat unik bila dibandingkan dengan ritual-ritual lainnya. Menurut hadis Nabi, shalat menjadi pilar agama, `imad al-dîn. Pentingnya shalat lebih jauh ditekankan oleh sebuah hadis Nabi yang di dalamnya Nabi diriwayatkan pernah berkata, “Tuhan hadir di dalam qiblatnya orang yang shalat” (Allah fi qiblat al-musalli,) yang menunjukkan secara jelas fungsi komunikatif shalat. Diriwayatkan juga di dalam hadis Nabi—ketika beliau membedakan antara iman dan  ihsan—yang mengatakanal-ihsan huwa anta`bud Allaha ka-anna-ka tarahu, fa-in lam takun trahu fa-innahu yarak, (ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihatnya, [dan sesungguhnya kamu benar-benar tidak melihat-Nya], maka Dia melihatmu.” Signifikansi partikel kesamaan, kaanna adalah kiasan untuk keadaan ‘imaginasi’ yang dengannya ini memungkinkan untuk merasakan sebuah image Tuhan yang memudahkan proses komunikasi. Maknanya adalah untuk mengajak orang beriman sepenuhnya dan mengakui bahwa dia secara langsung menyapa Allah dan menerima tanggapan dari Tuhan.
Jadi,  shalat yang di dalamnya ada banyak sekali bacaan-bacaan Al-Qur’an, memberikan sebuah canel komunikasi yang sederajat atau sama dengan pola komunikatif yang khas, yang melaluinya al-Qur’an diwahyukan.Taslimal-salamu`alaykum wa-rahmatu llahi wa-barakatuh, merupakan rukun untuk mengakhiri komunikasi, sebagaimana takbîr, rukun untuk memasuki shalat (memasuki komunikasi). Dimensi  aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur wahy pada dasarnya dapat juga ditemukan di dalam salat dan di dalam berbagai kegiatan yang melibatkan pembacaan Al-Qur’an.
Kegiatan-kegiatan lain yang disorot oleh Nasr Hamid adalah Haji dan penyebutan istilah-istilah Qur’ani dalam kehidupan sehari-hari, misalnnya penggunaan kata Allah. Nama Tuhan, Allah, hadir hampir dalam setiap aksi bicara. Dalam bahasa Arab, khususnya dalam dialek Mesir, seringnya mengutip nama Allah dalam pembicaraan setiap hari berkali-kali adalah hal lumrah. Kata tersebut mengekspresikan apresiasi yang dalam atau kekaguman, jika kata tersebut diucapkan dengan huruf vokal yang panjang dengan akhiran penutup yang pendek. Namun kata tersebut bisa mengekpresikan kemarahan atau ketidakpuasan jika diucapkan dengan tekanan nada  yang keras atau tinggi dengan menekan pada tasdid lam-nya yang diakhiri dengan intonasi gaya bicara bertanya. Dalam konteks semacam itu, kata ‘Allah’ berperan sebagai  “pembuat” keadaan tertentu dari pikiran dan tidak ada hubungannya dengan ungkapan keagamaannya. Kata tersebut tidak memiliki signifikansi keagamaan dan bahkan dapat digunakan dalam situasi-situasi yang tidak diperbolehkan oleh agama. Seorang penjudi, misalnya, bisa saja menggunakan kata ini untuk mengekspresikan kekecewaannya  atas perilaku pesaing judinya. Kata tersebut bisa jadi mengandung arti cemoohan atau hinaan jika diulang berkali-kali.
Beberapa kata atau istilah lainpun juga dielaborasi, seperti syahadat, takbir, isti’adzah, istighfar, basmalah, salam, hauqalah, al-fatihah, hamdalah serta doa. Semuanya itu adalah bentuk kecil komunikasi manusia dan Tuhan, yang pada dasarnya merupakan al-Qur’an yang hidup (alive) dalam kehidupan sehari-hari. Nasr Hamid juga mengekplorasi budaya pembacaan Al-Qur’an sebelum acara-acara resmi, pembacaan surah Al-Fatihah sebelum kegiatan-kegiatan tertentu dimulai.
5. Discovering The Qur’an A Contemporary Approach to A Vailed Text, karya Neal Robinson.[12] Buku yang ditulis oleh Neal Robinson pada dasarnya adalah tulisan yang mengungkapkan keindahan atau keajaiban (I’jaz) teks-teks Al-Qur’an dengan pendekatan yang kontemporer, misalnya dengan melihat ritme surah-surah tertentu yang simetris dan balance, sehingga ia menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang memiliki kualitas musikal yang tinggi (the innate musical qualities of revelation).[13]Ada satu bab, The Qur’an as Experienced by Muslims, adalah bab khusus yang menggambarkan bagaimana Al-Qur’an diperlakukan di dalam kehidupan masyarakat.  Neal Robinson menceritakan keajaiban seorang Thaha Husain ketika menghafalkan Al-Qur’an. Dan juga mengungkapkan sejarah pertama kali Al-Qur’an diperdengarkan melalui radio, yakni pada tahun 1934. Hingga Al-Qur’an menjadi sangat familiar di setiap mulut umat Islam. Banyak sekali istilah-istilah atau kata-kata Al-Qur’an yang digunakan manusia dalam kehidupans sehari-hari, seperti basmalah, al-Fatihah. Hingga di juga menjelaskan perkembangan kemasan Al-Qur’an dengan adanya iluminasi (hiasan pinggir/border berupa ukir-ukiran) dan kaligrafi.
6. The Qur’an: A Biography, karya Bruce Lawrence.[14] Dalam buku ini Bruce Lawrence menuliskan pengalaman beberapa tokoh dalam mendekati atau memahami al-Qur’an. Tokoh-tokoh tersebut adalah Nabi Muhammad SAW., Ja’far Shadiq, Ibnu Jarir At-Thabari, Robert of Ketton (penerjemah Al-Qur’an paling awal), Muhyiddin Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, W.D. Muhammad, Usamah bin Laden dan Muhammad Zuhri. Bagian yang menarik dan relevan dengan kajian Living Qur’an berada pada pembahasan tokoh Muhammad Zuhri.[15] Muhammad Zuhri adalah tokoh sufi revolusioner yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti surah Al-Fatihah untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Dalam buku ini, Bruce mengisahkan:
Nuerology can also play a crucial role in the ta’widz or prescription for mercy that deviners/saint make to dispel the evil one. Every letter in Arabic alphabet carries a value. Those numbers when added up can give you a total that simbolically represents the holy phrase. No phrase is deemed to be more than the Opening Chapter. ‘Those seven verses,’ declared a Sufi pravtitioner, ‘provide the key to acquiring riches, success and strenght. They act as a medicine and a cure, dispelling sadness, depression, anguish, and fear’.[16] (Numerologi juga memainkan peran penting dalam ta’widz atau resep rahmat yang digunakan Tabib/Sufi untuk mengusir setan. Setiap huruf alfabet Arab memiliki nilai. Bilangan-bilangan itu ketika ditambahkan dapat menghasilkan jumlah total secara simbolis menggambarkan ayat suci. Tidak ada ayat-ayat yang dinilai lebih penting selain Al-Fatihah. Tujuh ayat dalam surah ini, kata seorang praktisi sufi, “bisa menjadi kunci untuk mendapatkan kekayaan, kesuksesan dan kekuatan. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai obat dan penyembuh, mengusir kesedihan, depresi, kemarahan dan ketakutan.”
Ayat-ayat Al-Qur’an dengan berbagai formulasinya yang dihasilkan para sufi untuk mengobati (Sufi Healing) menjadi menarik. Dalam buku ini Bruce Lawrence bertanya: “apakah ini sihir atau agama, bid’ah atau ortodoksi?”. Banyak orang berdebat soal pertanyaan ini. Namun bagi orang yang sakit ini adalah masalah agama praksis: apa saja yang bisa menyembuhkan akan digunakan dan keberhasilan penyembuhan bergantung pada kenyakinan—bukan hanya pada wali/sufi/tabib, tetapi juga pada perantara Al-Qur’an—karena apalah arti sebuah Kitab Suci bagi orang yang beriman jika ia juga bukan sebuah kitab rahasis-rahasia, kata-katanya adalah portal yang menguak kebenaran yang lebih dalam, lebih besar dan tak terlihat?.
7.      Al-Qur’an, Surat Cinta Sang Kekasih karya Islah Gusmian.[17] Dalam buku ini Islah Gusmian memataforkan Al-Qur’an sebagai surat cinta dari sang kekasih dengan analisis sufistik dan psikologis. Ada banyak dimensi Living Qur’an yang diungkap dalam buku ini, misalnya aktifitas membaca Al-Qur’an dapat melembutkan dan membersihkan hati. Hal ini diperkuat dengan teri-teori kimia. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan Allah adalah cahaya langit dan bumi. Cayaha itu memiliki frekwensi yang beresonansi terhadap hati. Membaca ayat-ayat Allah berarti bergaul dengan cahaya yang melembutkan hati dan membersihkannya.  Islah Gusmian juga menjelaskan tradisi semaan Al-Qur’an yang dirintis Gus Mik dan GBPH Joyokusumo, yang sampai sekarang menjadi tradisi kuat di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan diikuti oleh banyak sekali jamaah. Islah juga menjelaskan begitu terhormatnya Al-Qur’an, oleh sebagian muslim Al-Qur’an tidak hanya dihafal, namun juga teks-teksnya dipakai sebagai medium berdoa. Model dan cara penggunaannyapun beragam. Islah juga menyebutkan kitab-kitabmujarrabat, karya ulama Indonesia dan Timur Tengah.[18]Selain enam buku di atas, mungkin masih banyak lagi buku-buku lainnya yang membahas fenomena-fenomena sosial yang bersinggungan dengan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Atau, mungkin fenomena tersebut sudah ada tetapi tidak mendapatkan perhatian serius, misalnya di Jogjakarta setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Al-Qur’an mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Al-Qur’an di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jawa: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya dan masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Al-Qur’an pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Al-Qur’an. Di sini, teks Al-Qur’an ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.
Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Al-Qur’an seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Al-Qur’an. Padahal, cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.
D.    LIVING QUR’AN LUPUT DARI PERHATIANOrang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Al-Qur’an -di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya- juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Al-Qur’an terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan mainstream.
Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Al-Qur’an sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Al-Qur’an atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bid’ah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Al-Qur’an yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau Living Quran?
Yang dimaksud Living Qur’an dalam konteks ini adalah kaijian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran Al-Qur’an atau keberadaan Al-Qur’an di sebuah komunikas muslim tertentu. Penelitian ilmiah ini dikemukakan untuk menghindari masuknya tendensi keagmaan yang tentu dengan tendensi ini berbagai peristiwa tersebut akan dilihat dengan kacamata ortodoksi yang ujung-ujungnya berupa vonis hitam putih, sunnah-bid’ah, syar’iyyah-ghairu syar’iyyah atau meminjam istilah yang agak berimbang dengan istilah Living Qur’an maka peristiwa tersebut sebetulnya lebih tepat disebut The Dead Qur’an. Artinya jika dilihat dengan kacamata keislaman (sebagai agama) tentu peristiwa sosial dimaksud berarti telah membuat teks-teks Al-Qur’an tidak berfungsi. Karena hidayah Al-Qur’an terkandung di dalam tekstualitasnya dan hanya dapat diaktualisasikan secara benar apabila bertolak dari pemahaman teks dan kandungannya. Sementara banyak dari praktik perlakuan atas Al-Qur’an dalam kehidupan kaum Muslim sehari-hari tidak bertolak dari pemahaman yang benar (secara agama) atau kandungan teks Al-Qur’an.[19]Misalnya, Al-Qur’an memang mengklaim dirinya sebagai Syifa’ yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai obat. Tetapi ketika unit-unit tertenti darinya dibacakan untuk mengusir jin-setan yang konon merasuk ke dalam tubuh manusia maka bukan berarti praktik ini tidak berdasarkan pemahaman atas kandungan teks Al-Qur’an. Dari sudut pandang Islam, tentu praktik ini berarti menunjukkan The dead Qur’an, tetapi sebagai fakta sosial, praktik semacam ini tetap terkait dengan Al-Qur’an dan betul-betul terjadi di tengah komunias muslim tertentu. Itulah yang kemudian perlu dijadikan objek studi baru bagi para pemerhati dan sarjana Al-Qur’an.
E.     KesimpulanOrientasi studi al-Quran selama ini lebih banyak didominasi pada ranah kajian teks. Wajar jika Nasr Hamid Abu Zayd mengistilahkan peradaban Islam sebagai hadharah an-Nash (peradaban teks). Oleh sebab itu, penelitian Al-Quran yang berorientasi resepsi hermeneutik belaka lebih banyak ketimbang studi yang berkaitan dengan aspek resepsi kultural dan estetik. Jika selama ini ada kesan tafsir dipahami harus berupa teks verbal, maka sebenarnya tafsir tersebut bisa diperluas untuk dapat mengimbanginya dengan semua aspek non-verbal dari teks tersebut. Seperti respon atau praktik perlaku suatu mayarakat yang diinspirasi oleh kehadiran Al-Quran. Hal ini dalam bahasa Al-Quran disebut dengan istilah tilawah (pembacaan yang berorientasi pada pengamalan) yang berbeda dengan qiraah (pembacaan yang berorientasi pada pemahaman). Maka, melalui kajian Living Quran, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan studi Al-Quran lebih lanjut. Kajian tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respons dan perilaku masyarakat terhadap kehadiran Al-Quran, tafsir tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan emansipatoris yang mengajak partisipasi masyarakat. Pendekatan fenomenologis, sosiologis, antropologis dan analisis ilmu-ilmu sosial-humaniora serta beberapa disiplin ilmu lainnya, tentu menjadi faktor yang sangat menunjang dalam kajian ini.
Labih lanjut, Living Quran dapat juga dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal dalam mengapresiasikan Al-Quran. Seperti fenomena menjadikan Al-Quran sebagai jimat, mantera dan berbagai fenomena lain sebagaimana telah diungkap di atas. Dari kajian ini pula nantinya dapat diketahui lebih komprehensif latarbelakang serta aspek-apek yang mempengaruhi perilaku “menyimpang” masyarakat tersebut. Hingga kemudian, cara pikir klenik secara bertahap dapat ditarik kepada cara pikir akademik. Karena menjadikan Al-Quran hanya sebagai tamimah dapat dipandang merendahkan fungsi al-Quran, meski sebagian ulama ada yang membolehkannya.
Metode Living Quran tidaklah dimaksudkan untuk mencari kebenaran positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi semata-mata melakukan “pembacaan” objektif terhadap fenomena keagamaan yang terkait langsung dengan Al-Quran. Sebagai upaya pembacaan teks Al-Quran yang lebih komprehensif dari berbagai dimensinya. Maka, wilayah studi teks Al-Quran tidak lagi merupakan hal yang bersifat elitis, tetapi bersifat emansipatoris yang akan mengajak dan melibatkan banyak orang dengan berbagai disiplin ilmu terkait.
Sebagai metode yang relatif sangat baru dalam ranah studi al-Quran, secara teoritik metode ini tidak menjadi persoalan, namun secara metodik-konseptual metode ini boleh dibilang masih mencari bentuk acuannya. Sebagai kajian yang berangkat dari fenomena sosial, tentu bentuk penelitian fenomenologis adalah bentuk penelitian yang dapat ditawarkan dalam metode living quran ini. Walhasil, Meskipun demikian, tidaklah berarti semata-mata pendekatan kualitatif-fenomenologis menjadi satu-satuya metode penelitian ini. Karena itu pula berbagai pendekatan dan metode penelitian dapat dipakai, dengan mempertimbangkan aspek fokus dan analisis penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, (London: Atlantik Book, 2006).
Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya (Yogyakarta: SIPRESS, 1992), hlm. 108-114.
Farid Esack, The Quran: A Short Introduction, (England: Oneworld Publication, 2002)
Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors,” dalam The Journal of Religion, Vol. 16 No. 1, Januari 1984.
http:// www. stichtingsocrates.nl/teksten/The%20Qu’ran% 20God%20and% 20man%20in %20communication %20-%20Oratie% 20Rijksuniversiteit%20Leiden.pdf
Islah Gusmian, Al-Quran Surat Cinta Sang Kekasih, (Yogyakarta, Galang Press, 2005).
Muhammad Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” Makalah disampaikan pada Seminar Living Qur’an dan Hadis, diselenggarakan oleh Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 8-9 Agustus 2005.
Neal Robinson,  Discovering The Qur’an A Contemporary Approach to A Vailed Text,(London: SCM Press, 2003), cet. 2.
www.pakmuh.com

[1] Farid Esack, The Quran: A Short Introduction, (England: Oneworld Publication, 2002), hlm. 16
[2] Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors,” dalam The Journal of Religion, Vol. 16 No. 1, Januari 1984.
[3] Farid Esack, The Quran: A Short Introduction, hlm. 1-10.
[4] Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta, Elsaq Press, 2008).
[5] Muhammad Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” Makalah disampaikan pada Seminar Living Qur’an dan Hadis, diselenggarakan oleh Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 8-9 Agustus 2005.
[6] Buku dan artikel yang penulis sebutkan sebagai contoh—sejauh pengetahuan penulis dan sampai tulisan ini selesai ditulis—belum ada di perpustakaan IIQ.
[7] Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya (Yogyakarta: SIPRESS, 1992), hlm. 108-114.
[8] Alat pengasah atau penajam
[9] Artikel ini dimuat di Jurnal Etnomusicology, Vol.  45. No. 1 Winter 2001. Sebelumnya pernah dipresentasikan pada Conference of the Society for Ethnomusicology di Pittsburgh, PA, Oktober 1997.  Penulis tidak mengetahui apakah makalah ini ada dan disimpan di perpustakaan IIQ atau tidak. Sejauh penelusuran penulis, memang belum ada. Di dalam tulisan ini, IIQ secara akademis dijadikan objek kajian Living Qur’an.
[10]  Baca hlm. 13-29.
[11]Tulisan ini merupakan makalah pidato ilmiah. Bisa diakses di http:// www. stichtingsocrates.nl/teksten/The%20Qu’ran%20God%20and%20man%20in%20communication%20-%20Oratie% 20Rijksuniversiteit%20Leiden.pdf
[12] Neal Robinson,  Discovering The Qur’an A Contemporary Approach to A Vailed Text,(London: SCM Press, 2003), cet. 2.
[13] Neal Robinson,  Discovering The Qur’an A Contemporary Approach to A Vailed Text, hlm. 14
[14] Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, (London: Atlantik Book, 2006). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
[15] Biografi, tulisan-tulisannya dapat dilihat di www.pakmuh.com
[16] Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, hlm. 190-191.
[17] Islah Gusmian, Al-Quran Surat Cinta Sang Kekasih, (Yogyakarta, Galang Press, 2005).
[18]  Islah Gusmian, Al-Quran Surat Cinta Sang Kekasih,Hlm. 182-185
[19] Muhammad Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an”, hlm. 6
http://hanazta.com/archives/188


No comments:

Post a Comment